Friday, October 1, 2010

PROSES PEMBELAJARAN HOLISTIK

Sanerya Hendrawan

Proses pembelajaran berperan penting dalam pembentukan keperibadian islami. Di dalam proses pembelajaran terjadi perubahan pikiran, sikap, ataupun perilaku. Perubahan ini mencakup, baik perolehan (acquisition) hal-hal baru maupun penanggalan hal-hal lama (dequisition). Jadi perubahan ini sebetulnya mengandung makna learning maupun unlearning. Khas dalam perspektif Islam, perubahan ini berlangsung sebagai sebuah proses penyempurnaan intelektualitas (intelectual perfection) dan moralitas (moral perfection) secara simultan. Karena itu sifat pembelajarannya juga holistik. Menyatukan keragaman realitas ke dalam kesatuan yang berporos kepada Allah sebagai Tuhan Pencipta dan Pemelihara Alam (Rabb)  dan karena itu satu-satunya yang punya hak untuk diibadahi ataupun disembah (Illah). Ini sesungguhnya tidak lain adalah konsekwensi dari prinsip  tauhid  dalam ajaran Islam.

Berbeda dari paradigma Barat, proses pembelajaran dalam Islam pada dasarnya menyatukan pengamatan, perenungan, dan analisis mendalam (reasoning, deep thinking), selanjutnya disebut pikir, dengan konsentrasi, meditasi, dan intuisi, selanjutnya disebut dzikir. Idealisasi dari hasil penyatuan kedua pembelajaran ini adalah pembelajar yang berhasil menemukan dan memahami Perbuatan Tuhan dengan segala Sifat-Nya Yang Maha Sempurna dari fenomena alam ataupun sosial yang dipersepsinya. Al-Quran sendiri dalam Surat Ali ‘Imran 190-191 menggambarkan idealisasi ini dengan kalimat:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau yang duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Jadi jelas, proses pembelajaran yang mengkombinasikan pikir dan dzikir membuahkan kesadaran pada penciptaan yang bertujuan, kecilnya manusia dalam semesta ciptaan, rasa takut atas pertanggung jawaban, penghambaan, dan penguatan iman kepada Tuhan. Dengan kata lain, Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan dari pengamatan dan rekayasa ini  (IPTEK) bersinergi dengan keimanan dan ketakwaan (IMTAK). Keduanya menjadi pilar utama di mana kepemimpinan di bumi (khalifatul ard) dan penghambaan kepada Tuhan (ibadah) bisa ditegakan dengan benar.

            Di dalam proses pembelajaran ini, pensucian jiwa (tazkiyatun nafs) mesti jadi disiplin yang menyertai keseharian pembelajar. Karena bagaimana mungkin pembelajar bisa menangkap pengetahuan ilahi yang suci (ma’rifatulah, gnosis, scientia sacra), sementara jiwanya sendiri masih terkotori keburukan dan kelalaian. Pengetahuan ilahi hanya bisa ditangkap oleh hati yang bersih. Hati semacam ini ibarat sebuah cermin mengkilat hingga mampu menangkap dan memantulkan obyek dengan sempurna.

            Pentingnya tazkiyatun nafs sebagai langkah untuk memperoleh pengetahuan mesti dilihat dalam kerangka dua jenis pengetahuan yang sudah diakui keabsahannya dalam Tradisi Islam dan mesti dikuasai oleh setiap pembelajar untuk bisa sukses dalam kehidupannya. Yakni pengetahuan berdasarkan panca indera (al-ilm al-husuli atau knowledge by sense) dan pengetahuan berdasarkan intuisi (al-ilm al-huduri atau knowledge by presence). Yang pertama mengandalkan pada penginderaan luar sebagai pencerap informasi obyek-obyek fisik (ad-dzahir). Sedangkan yang kedua menggunakan kekuatan dan kepekaan rasa serta ketajaman mata hati (eye of the heart) untuk menangkap hakekat obyek atau realitas (al-bathin). Upaya mendapatkan pengetahuan jenis pertama membutuhkan penggunaan pikiran diskursif,  rationalistik, dan silogistik, sementara pengetahuan jenis kedua membutuhkan pendekatan simbolis, intuitif.

            Di dalam tradisi Islam pembelajaran adalah proses meraih pengetahuan suci (scientia sacra), karena itu berlangsung melalui tiga langkah penting: syariah, tariqoh, ma’rifah. Pertama syariah adalah mengetahui kehendak Allah dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak-Nya (karena itu disebut muslim). Kedua tariqah adalah mengikuti jalan kehendak-Nya ini bersama-sama muslim lain, yang membentuk kelompok pembelajaran yang  saling mengingatkan  dan menganjurkan kebaikan serta melarang keburukan (community of practices). Kemudian ketiga ma’rifah adalah tercapainya pengetahuan dan pengertian murni, di mana seluruh keberadaanya telah diserahkan kepada Tuhan, sebagaimana juga alam ini yang telah tunduk sepenuhnya terlebih dulu kepada-Nya (Islam). Karena itu pada tahap ini pembelajar telah menyatukan dirinya dengan alam. Sehingga ia mampu memahaminya “dari dalam”. Dirinya menjadi saluran rahmat bagi semesta.

            Dengan langkah semacam itu, proses pembelajaran membentuk manusia yang mampu memadukan tiga tema universal yang telah disebut oleh Plato: kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Kebenaran adalah pengetahuan yang Haq. Kebaikan adalah realisasi yang Haq. Keindahan adalah cahaya dan ungkapan  yang Haq. Ketiganya tidak bisa dilepaskan dari yang lain, tapi sebagai satu kesatuan yang utuh yang membentuk kehidupan manusia sempurna (al-insan a-kamil). Singkat kata, pembelajaran harus menghasilkan pribadi-pribadi yang mencintai kebenaran, kebaikan, dan keindahan.