Wednesday, November 3, 2010

PERILAKU: REFLEKSI KEMAMPUAN MERESPON SITUASI

Sanerya Hendrawan


Satu konsep menarik dari quantum learning yang relevan digunakan untuk menjelaskan perilaku islami adalah apa yang disebut “living above or below the line”. Yang dimaksud dengan “garis” kehidupan di bawah atau di atas pada konsep tersebut merujuk pada tingkat tanggung jawab (responsibility) kita sebagai manusia dalam mengelola kehidupan ini. Ibarat horizon yang menjadi batas antara bumi dan langit, “garis” di sini mengartikan kekuatan dari karakter manusia. Sadar ataupun tidak, setiap orang memilih hidup satu diantara dua tempat tersebut; apakah ‘di bawah atau di atas garis’.


Istilah responsibility di atas sebetulnya tersusun dari dua kata respon-ability. Jadi mengandung arti, kemampuan kita untuk merespons atas situasi-situasi kehidupan yang dihadapi. Apakah kita proaktif, misalnya; mengambil kendali atas pilihan-pilihan kita, sehingga kita mengendalikan hasil-hasilnya. Atau malah sebaliknya reaktif, membiarkan orang lain atau lingkungan mengendalikan kita, sehingga kita menyalahkan atau menolak ketika gagal atau mendapatkan situasi buruk. Dalam kondisi semacam ini, pernyataan tipikal orang yang hidup below the line adalah "I have no control over my life - outside circumstances control my life. Dus, orang semacam ini sebetulnya “tidak memiliki diri sendiri”. Dengan kata lain mengalami victim mentality, merasa jadi korban orang lain atau lingkungan.


Perspektif Islam justru mendorong perilaku living above the line. Banyak ayat al-Quran yang bicara perlunya perilaku hidup yang proaktif, inisiatif, mengambil pilihan secara sadar, percaya pada kekuatan diri untuk membentuk kehidupan sendiri, tentu yang sesuai pula dengan keinginan kita. Dengan kata lain perlunya mengembangkan success mentality dalam seluruh perilaku kehidupan kita. Simaklah pernyataan pada Surat an-Najm 39: wa allaisa lil insaani illa maa sa’aa, yang maknanya; dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Kemudian pada surat Al Mumin 17 “Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya. Kedua ayat tersebut menegaskan, apa yang terjadi pada kita, baik atau buruk, adalah akibat dari perbuatan kita sendiri. Tidak bisa menyalahkan orang lain. Semuanya adalah akibat pilihan dan usaha kita sendiri.


Jadi dalam perspektif Islam, pernyataan semacam “saya tidak punya kendali atas kehidupan saya” – “orang lain menentukan kita" adalah sebuah kebohongan besar. Karena sejatinya, sekalipun keadaan di luar mempengaruhi kita, namun itu tidak harus mengendalikan kita. Kitalah yang menentukan, apakah membiarkannya  mengendalikan kita atau tidak. Singkat kata,  kita bisa memilih dengan sadar dan menentukan respon-respon kita sendiri. Sesungguhnya Tuhan telah melengkapi manusia dengan berbagai fakultas yang mendukung kebebasan memilih secara cerdas. Pada diri manusia ada ‘akal’ yang mampu memahami kebenaran, ‘kesadaran’ atas situasi dan tanggung jawab kehidupannya, dan ‘kehendak’ untuk meraih kebaikan ataupan kebahagiaan. Kemudian dari luar, disempurnakan dengan ‘petunjuk wahyu’ al-Quran dan contoh kehidupan Rasulullah Muhammad saw (as-Sunnah), yang mengatasi keterbatasan inherent pada akal untuk memahami hakekat konsepsi kehidupan manusia yang benar, baik, dan indah dalam semesta realitas. Jadi, lengkaplah sebetulnya peralatan yang diperlukan manusia untuk memilih dan mengambil respon perilaku kehidupan yang benar.


Living above the line menuntut pengembangan kemampuan merespon (respon-ability) setiap individu atas setiap tantangan kehidupannya. Ini berarti perlunya pendidikan yang mengasah dan mengembangkan akal cerdas dan sehat, menyadarkan manusia kepada misi dan tugas-tugas kehidupannya yang hakiki sebagai hamba (abd) dan pemimpin (khalifah) di muka bumi ini, dan membangkitkan kehendak atau motivasinya pada cita-cita yang luhur meninggikan kalimat tauhid (islam). Dengan kata lain perlunya pendidikan holistik, yang secara integral memadukan iman dan takwa (IMTAK) dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK),  sebagaimana yang telah kita bahas pada bagian lain. Penguasaan IMTAK-IPTEK adalah syarat bagi sempurnanya usaha atau ikhtiar manusia di dunia maupun pertanggungan jawabnya kelak (responsibility) kepada Tuhan-Nya di yaumil akhir.



Pola Hidup Above the line


Jadi dalam perspektif Islam, “hidup di atas garis” menyiratkan perilaku manusia yang mampu merespon atas tuntutan dari tanggung jawabnya sebagai hamba (abd) dan sekaligus sebagai pemimpin (khalifah). Tidak ada makna lain dari “batas” garis atas dan bawah ini selain keimanan.  Sebagai hamba berarti manusia mesti menghadapkan diri sepenuh hati kepada-Nya, patuh dan teguh pada ketentuan-Nya, bergegas kepada seruan-Nya, bersemangat memenuhi segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-nya, disertai rasa cinta kepada-Nya. Dengan kata lain perlu beriman dan bertakwa (IMTAK). Sedangkan sebagai pemimpin, manusia dipilih Tuhan dengan mandat untuk mewakili-Nya dalam memelihara dan mengembangan bumi, dengan seluruh ciptaan di dalamnya, sebagai tempat kehidupan yang baik dan sejahtera (al-hayatun thoyibah). Ini berarti manusia harus menggali, melalui ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), sumber daya yang terkandung dalam seluruh ciptaan-Nya. Yakni berupa kemanfaatan dan kemaslahatan yang dimiliki oleh setiap ciptaan, yang sejatinya telah dipersiapkan Tuhan untuk memberi kemaslahatan kepada manusia sesuai dengan kebutuhan dan potensinya masing-masing.


Peran manusia sebagai ‘slave’ yang simultan dengan ‘master’ tadi memang unik. Membutuhkan kesetimbangan di dalam realisasinya. Beruntung, karena dalam perspektif Islam kita menemukan figur ideal yang memadukan kedua peran tadi secara seimbang dengan sempurna dalam pribadi Rasulullah Muhammad saw. Perannya bukan saja sekedar pemimpin umat, tetapi juga seorang hamba Allah yang menikah, punya anak dan cucu, berdagang, menderita dalam kemiskinan dan tekanan pihak lain lalu berjuang bersama manusia lain, dan memperoleh kemenangan, tentu dengan pertolongan Tuhan, dan menjadi penguasa. Pendek kata sarat dengan pengalaman-pengalaman besar yang lazim dihadapi manusia di dunia ini. Jadi bagi manusia lain, yang bermaksud menyempurnakan kemanusiannya, tinggal mengikuti saja suri teladan manusia sempurna ini (al-insan al-kamil), Rasulullah Muhamad saw.


Kita juga bisa merasakan nuansa perilaku hidup above the line sebagai refleksi seorang hamba dan pemimpin dari Surat Al-Furqon 63-76. Di sana disebutkan sembilan perilaku yang ditampilkan oleh ‘‘ibaadurrohmani”, hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang:

  1. Rendah hati dalam menjalani kehidupannya dan senantiasa membawa keselamatan kepada lingkungannya
  2. Bersujud dan berdiri untuk Tuhan-Nya di malam hari. Jadi senantiasa dilaluinya dengan mendekatkan diri kepada Allah.
  3. Senantiasa berdoa memohon keselamatan
  4. Moderat di dalam pembelajaannya. Jadi tidak boros, tidak juga kikir.
  5. Mengesakan Tuhan (tauhid), menjaga kehidupan orang lain, dan memelihara kesucian diri dari perbuatan keji
  6. Senantiasa mohon ampunan dan kembali kepada Tuhan-Nya serta melakukan amal saleh
  7. Jujur, senantiasa produktif, dan menjaga kehormatan diri dari perbuatan tidak bermanfaat
  8. Peka dan responsif terhadap ayat-ayat Tuhan
  9. Berdoa memohon keluarga yang saleh dan jadi ikutan serta pemimpin orang-orang yang takwa

Jelas sekali, perilaku manusia yang hidup “di atas garis” menunjukan mentalitas berkelimpahan (abundance mentality). Sehingga dirinya senantiasa menyejukan lingkungan dan sesamanya serta lapang dada, bersih dan tenang, mantap dalam keyakinan, adil, tulus dan terhormat, produktif, peka dan peduli terhadap sekelilingnya, mengakui kesalahan dan segera mengkoreksinya, membangun komunitas yang saleh dan memberi contoh terbaik kepada orang lain, dan menjadi pemimpin orang-orang pilihan. Semuanya ini tidak lain adalah perilaku manusia unggulan, par exellence.

Friday, October 1, 2010

PROSES PEMBELAJARAN HOLISTIK

Sanerya Hendrawan

Proses pembelajaran berperan penting dalam pembentukan keperibadian islami. Di dalam proses pembelajaran terjadi perubahan pikiran, sikap, ataupun perilaku. Perubahan ini mencakup, baik perolehan (acquisition) hal-hal baru maupun penanggalan hal-hal lama (dequisition). Jadi perubahan ini sebetulnya mengandung makna learning maupun unlearning. Khas dalam perspektif Islam, perubahan ini berlangsung sebagai sebuah proses penyempurnaan intelektualitas (intelectual perfection) dan moralitas (moral perfection) secara simultan. Karena itu sifat pembelajarannya juga holistik. Menyatukan keragaman realitas ke dalam kesatuan yang berporos kepada Allah sebagai Tuhan Pencipta dan Pemelihara Alam (Rabb)  dan karena itu satu-satunya yang punya hak untuk diibadahi ataupun disembah (Illah). Ini sesungguhnya tidak lain adalah konsekwensi dari prinsip  tauhid  dalam ajaran Islam.

Berbeda dari paradigma Barat, proses pembelajaran dalam Islam pada dasarnya menyatukan pengamatan, perenungan, dan analisis mendalam (reasoning, deep thinking), selanjutnya disebut pikir, dengan konsentrasi, meditasi, dan intuisi, selanjutnya disebut dzikir. Idealisasi dari hasil penyatuan kedua pembelajaran ini adalah pembelajar yang berhasil menemukan dan memahami Perbuatan Tuhan dengan segala Sifat-Nya Yang Maha Sempurna dari fenomena alam ataupun sosial yang dipersepsinya. Al-Quran sendiri dalam Surat Ali ‘Imran 190-191 menggambarkan idealisasi ini dengan kalimat:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau yang duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Jadi jelas, proses pembelajaran yang mengkombinasikan pikir dan dzikir membuahkan kesadaran pada penciptaan yang bertujuan, kecilnya manusia dalam semesta ciptaan, rasa takut atas pertanggung jawaban, penghambaan, dan penguatan iman kepada Tuhan. Dengan kata lain, Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan dari pengamatan dan rekayasa ini  (IPTEK) bersinergi dengan keimanan dan ketakwaan (IMTAK). Keduanya menjadi pilar utama di mana kepemimpinan di bumi (khalifatul ard) dan penghambaan kepada Tuhan (ibadah) bisa ditegakan dengan benar.

            Di dalam proses pembelajaran ini, pensucian jiwa (tazkiyatun nafs) mesti jadi disiplin yang menyertai keseharian pembelajar. Karena bagaimana mungkin pembelajar bisa menangkap pengetahuan ilahi yang suci (ma’rifatulah, gnosis, scientia sacra), sementara jiwanya sendiri masih terkotori keburukan dan kelalaian. Pengetahuan ilahi hanya bisa ditangkap oleh hati yang bersih. Hati semacam ini ibarat sebuah cermin mengkilat hingga mampu menangkap dan memantulkan obyek dengan sempurna.

            Pentingnya tazkiyatun nafs sebagai langkah untuk memperoleh pengetahuan mesti dilihat dalam kerangka dua jenis pengetahuan yang sudah diakui keabsahannya dalam Tradisi Islam dan mesti dikuasai oleh setiap pembelajar untuk bisa sukses dalam kehidupannya. Yakni pengetahuan berdasarkan panca indera (al-ilm al-husuli atau knowledge by sense) dan pengetahuan berdasarkan intuisi (al-ilm al-huduri atau knowledge by presence). Yang pertama mengandalkan pada penginderaan luar sebagai pencerap informasi obyek-obyek fisik (ad-dzahir). Sedangkan yang kedua menggunakan kekuatan dan kepekaan rasa serta ketajaman mata hati (eye of the heart) untuk menangkap hakekat obyek atau realitas (al-bathin). Upaya mendapatkan pengetahuan jenis pertama membutuhkan penggunaan pikiran diskursif,  rationalistik, dan silogistik, sementara pengetahuan jenis kedua membutuhkan pendekatan simbolis, intuitif.

            Di dalam tradisi Islam pembelajaran adalah proses meraih pengetahuan suci (scientia sacra), karena itu berlangsung melalui tiga langkah penting: syariah, tariqoh, ma’rifah. Pertama syariah adalah mengetahui kehendak Allah dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak-Nya (karena itu disebut muslim). Kedua tariqah adalah mengikuti jalan kehendak-Nya ini bersama-sama muslim lain, yang membentuk kelompok pembelajaran yang  saling mengingatkan  dan menganjurkan kebaikan serta melarang keburukan (community of practices). Kemudian ketiga ma’rifah adalah tercapainya pengetahuan dan pengertian murni, di mana seluruh keberadaanya telah diserahkan kepada Tuhan, sebagaimana juga alam ini yang telah tunduk sepenuhnya terlebih dulu kepada-Nya (Islam). Karena itu pada tahap ini pembelajar telah menyatukan dirinya dengan alam. Sehingga ia mampu memahaminya “dari dalam”. Dirinya menjadi saluran rahmat bagi semesta.

            Dengan langkah semacam itu, proses pembelajaran membentuk manusia yang mampu memadukan tiga tema universal yang telah disebut oleh Plato: kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Kebenaran adalah pengetahuan yang Haq. Kebaikan adalah realisasi yang Haq. Keindahan adalah cahaya dan ungkapan  yang Haq. Ketiganya tidak bisa dilepaskan dari yang lain, tapi sebagai satu kesatuan yang utuh yang membentuk kehidupan manusia sempurna (al-insan a-kamil). Singkat kata, pembelajaran harus menghasilkan pribadi-pribadi yang mencintai kebenaran, kebaikan, dan keindahan.

Tuesday, September 21, 2010

FASE PERKEMBANGAN KEPERIBADIAN MANUSIA: PERJALANAN DARI DAN MENUJU PENCIPTA-NYA

Sanerya Hendrawan

Dalam perspektif Islam keperibadian manusia terbentuk jauh sebelum terlahir ke dunia ini. Pertama ada satu fase ketika manusia masih berbentuk ruh di alam primordial. Di mana diri noumenal (Self) mengakui keberadaan Tuhan (teistik). Ateis karena itu tidak dikenal di dalam perspektif Islam. Karena jelas-jelas menyangkal inti diri sendiri. Manusia yang menganggap dirinya ateis sesungguhnya telah membuat dirinya teralienasi, terasing dari dirinya sendiri (Self). Sehingga tidak akan mampu mengembangkan keperibadiannya secara benar dan sehat.
Dalam perspektif Islam dikenal pernyataan “siapa yang mengenal dirinya, mengenal Tuhannya”. Maka dapat dikatakan pula, siapa yang tidak kenal (menolak keberadaan) Tuhannya, maka dia juga terasing dari dirinya (alienasi). Ini berarti ada korelasi antara inti keperibadian manusia (Self) dengan Tuhan. Menolak yang satu berarti menolak yang lain. Atau yang satu menjadi dasar untuk memahami yang lain.
Diri pada fase tersebut bisa disebut diri fitrah atau primordial (primordial self). Karena unsur materi (badan jasmani) belum ada, maka diri primordial tabiatnya adalah teistik, lurus dan cenderung pada kebaikan (hanif), serta pada posisi berserah diri (Islam). Karena itu Islam disebut pula agama primordial (ad-diin al-fitrah). Keyakinan (aqidah) dan seluruh aturannya (syariat), kalau dipegang teguh dan dipraktekan dengan benar akan mengembalikan kepada keadaan asal atau primordial ini.
Selanjutnya masuk pada fase kedua, ketika embrio terbentuk di dalam rahim dan ruh ini ditiupkan langsung oleh Tuhan kedalam embrio tubuh manusia tersebut yang telah berumur 40 hari. Drama peniupan ruh ini dinyatakan oleh kalimat al-Quran sendiri dengan “... wa nafakhtu fihi min ruhi...” (... dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)-Ku;...). Maka pada momen ini Cahaya Ketuhanan masuk kedalam tubuh materi. Eksistensi manusia menjadi sesuatu yang lain sama sekali. Kini, manusia memiliki berbagai kapasitas yang termasuk ke dalam realitas transendental, yang menjadi sumber kesadaran (consciousness), pikiran (cognition), pengetahuan (knowledge), intuisi (suara hati), maupun kekuatan berpikir dan rasionalitas. Pada fase ini sel-sel pembangun embrio dan tubuh bayi manusia sempurna membawa kode-kode genetika (DNA) yang dituliskan Tuhan berbeda untuk setiap individu. Nanti, khususnya setelah terlahirkan dari rahim ibu, bersama-sama faktor lain (lingkungan), kode-kode ini akan membentuk proses individuasi yang khas untuk setiap orang.
Fase ketiga adalah manusia yang terlahir ke dunia dengan membawa kecenderungan fitrah dan berbagai potensialitas yang harus diaktualisasikan dalam kehidupan lewat interaksinya dengan faktor-faktor lingkungan. Di sini faktor tabiat (nature) berinteraksi dengan pengasuhan lingkungan (nurture). Kombinasi dari pengaruh akal, hati, dan bimbingan petunjuk serta hukum-hukum agama (syariat) di satu pihak; dan pengaruh lingkungan di lain pihak (lewat proses sosialisasi dan akulturasi) sangat menentukan perkembangan kualitas keperibadian pada fase ini.
Pada fase ini manusia harus meraih kualitas keperibadian sempurna (al insan al-kamil). Yang gambaran nyatanya ada pada diri Rasulullah Muhammad saw. Semua kualitas luhur dari keperibadian manusia yang bisa diraih dalam batas-batas kemanusiaan manusia terkumpul secara kompak dan harmonis dalam pribadi Muhammad saw. Insan kamil tidak lain adalah gambaran manusia homo dei. Yakni manusia yang mampu mengembangkan kehidupan dunia sesuai dengan tujuan penciptaannya. Yaitu pemimpin, pengganti, atau wakil Tuhan di muka bumi (khalifatul ard).
Fase keempat adalah keperibadian yang sudah tercetak oleh kehidupan dunia (jiwa atau soul) yang kembali ke asalnya (Tuhan). Lewat kematian yang memisahkan jiwa dari badan materi dan masuk ke dalam penantian di alam barzah hingga hari kiamat. Lalu jiwa ini dibangkitkan kembali lengkap dengan badan jasmani serta mendapatkan tempat dan bentuk nyatanya di sana yang sesuai dengan kualitas keperibadian yang berhasil dikembangkannya dalam kehidupan dunia. 

Friday, September 17, 2010

KEPERIBADIAN ISLAMI SEBAGAI TUJUAN PENDIDIKAN DAN PENGEMBANGAN MANUSIA

Sanerya Hendrawan

    Dalam perspektif Islam, pendidikan dan pengembangan manusia memiliki tujuan yang holistik, integral, dan fungsional sekaligus. Ini sejalan dengan konsepnya tentang manusia yang juga holistik, sebagaimana sudah dikemukakan pada bab sebelum ini. Mencakup pengembangan ruh dan spiritualitas; jasmani dan jiwa (nafs); kesadaran dan keperibadian, ilmu dan amal; keyakinan (iman) dan moralitas serta karakter (akhlaq); intelegensi (aql) dan emosi serta hati (qalb). Semua aspek tersebut perlu dibangun secara simultan untuk terbentuknya manusia sempurna atau seutuhnya, yang telah disebutkan pada bab sebelumnya dengan istilah al-insan al-kamil.

    Dengan konsepsi insan kamil tersebut, maka sebetulnya tujuan pendidikan adalah terbentuknya pribadi-pribadi yang mampu menyerahkan dirinya dengan sukacita kepada kehendak Allah (islam), yang secara efektif mampu berkiprah membangun dunia ini sebagai penghambaannya kepada Allah (abd) dan merealisasikan misinya sebagai pemimpin terpercaya di bumi (khalifah). Jadi, tujuan pendidikan jauh dari sekedar transfer pengetahuan, pengalaman, ataupun sikap dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Apalagi, jauh dari yang hanya berorientasi pada kepentingan pasar, ataupun sekedar kepentingan dunia (popularitas, kekayaan, kekuasaan), sebagaimana banyak yang mempersepsinya dewasa ini sebagai hasil sistem pendidikan Barat.

Dalam perspektif Islam, pendidikan diarahkan untuk menumbuhkan manusia dalam segala aspeknya tadi, serta mendorongnya ke arah puncak kebaikan dan kesempurnaan. Sehingga tujuan akhirnya adalah perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah, yang tidak lain adalah makna sejati dari Islam itu sendiri. Dengan demikian, terbentuknya keperibadian yang islami adalah tujuan akhir dari pendidikan dan pengembangan manusia.
Dalam keperibadian islami terintegrasi secara kompak berbagai unsur penting yang memfungsikan manusia dalam kehidupannya sebagai hamba (abd) dan sekaligus pemimpin (khalifah). Diantaranya mencakup hikmah, ilmu, keyakinan dan nilai, akhlak atau karakter. Unsur-unsur tersebut dibentuk oleh pengolahan akal dan pengendalian emosi serta pengarahannya, pengembangan imajinasi, maupun menata kekuatan kehendak dan motivasi. Dilihat dari sudut ini, pendidikan adalah proses membangun unsur-unsur tersebut serta melatih faktor-faktor pembentuknya tadi. Lewat proses pendidikan ini manusia disiapkan untuk meraih; bukan sekedar kebaikan atau kebahagiaan di dunia saja. Tetapi juga kebaikan dan kebahagian di alam sesudah kematian (akhirat).

Karena itu lingkup ilmu pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai pun bersifat holistik. Mencakup ilmu pengetahuan fungsional kealaman dan sosial kemanusiaan (semacam teknik permesinan atau marketing), dan pengetahuan tentang Tuhan (gnosis atau ma’rifat), tata cara menghambakan diri kepada Tuhan (ibadah), serta moral, sikap, dan tingkah laku manusia (akhlaq).

Jadi jelas, di sini tidak ada pemisahan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu non-agama, sebagaimana dipersepsi dalam Peradaban Barat yang sekuler. Apa yang dikenal dengan hukum-hukum kehidupan alam dan manusia, yang dipelajari oleh ilmu-ilmu alam dan sosial sekarang ini, sejatinya adalah tanda-tanda atau ayat-ayat Allah juga, yang seharusnya mendetakan kekaguman manusia kepada kebesaran pencipta-Nya dan karena itu mesti mendorongnya untuk menundukan diri kepada-Nya dengan suka cita.
Dalam tradisi keilmuan Islam, itu merupakan bagian dari ta-limul ayat. Sasarannya adalah menciptakan manusia yang dalam Surat Ali Imran 191-193 disebut dengan kualifikasi ulul albab. Manusia yang mampu mengembangkan kualitas pikir dan dzikir (mengingat Allah) sekaligus. Manusia yang mampu mentransformasi alam dan juga mentransformasi dirinya (Self). Tapi untuk mencapai kualifikasi ini diperlukan juga ta’limul kitab wal hikmah, yaitu pengenalan wahyu dan hikmah kenabian, serta tazkiyatun nafs (pensucian jiwa lewat berbagai praktek ibadah yang terdisiplin).

Dengan demikian dalam proses pendidikan yang bertujuan menciptakan manusia seutuhnya atau manusia sempurna (insan kamil), maka mesti berlangsung tiga hal secara simultan. Pertama adalah mempelajari fenomena alam dan sosial sebagai tanda-tanda kebesaran Tuhan (ta’limul ayat). Kedua, mempelajari al-quran dan sunnah rasul (ta’limul kitab wal hikmah). Ketiga,  membersihkan jiwa supaya bisa menerima dengan mudah ilmu dan hikmah (tazkiyatun nafs).


Karakter Profetik Sebagai Keperibadian Islami

    Lalu sesungguhnya apa yang membedakan keperibadian Islami dari yang non-islami, yang sudah disebutkan di atas menjadi tujuan dari pendidikan? Tidak ada satu kata kunci yang paling pas yang membedakannya selain karakter moral. Karakter yang mengambil contoh terbaiknya dari keperibadian Nabi Muhammad Saw. Karena itu pula, sejatinya keperibadian islami bersifat profetik. Keperibadian ini menghadirkan kesadaran tentang Tuhan (tauhid) ke dalam setiap momen kehidupan. Kehidupan yang senatiasa terisi dengan keimanan dan ketakwaan. Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram” .

    Jadi, keperibadian islami bermuara pada karakter moral yang tinggi. Mencakup keyakinan, trait, atribut, perilaku, sopan santun, dan adab-adab. Semua ini mengena pada setiap aspek kehidupan antar pribadi yang meliputi hubungan antar manusia, manusia dan Tuhan, individu dan keluarga, individu dan masyarakat dan lingkungan alam. Muhammad Al-Ghazali dalam buku Muslim’s Characters (1996), misalnya, mendeskripsikan lebih spesifik keperibadian islami ke dalam beberapa katagori: benar, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, tulus, beretiket, hati bersih dari rasa benci, kuat, toleran dan pemaaf, dermawan, sabar, moderat, suci, bersaudara, menata waktu, baik hati, pembelajar dan intelek. Semua karakter ini mesti termanifestasikan dalam tindakan, pikiran, ataupun perkataan sehingga keperibadian menjadi integral atau utuh.

Keperibadian islami dibentuk oleh penegakan praktek-praktek ibadah Islami yang membutuhkan aksi dan cara hidup yang terfokus secara terus menerus pada penyerahan diri secara total kepada kehendak Allah. Karena itu keperibadian ini bukan sekedar identitas yang pasif. Tetapi aktif, dengan memanifestasi dalam setiap tindakan yang dilakukan manusia. Upaya menyerahkan diri ini membutuhkan suatu perjuangan untuk menyeimbangkan berbagai kekuatan diri (Self) serta mengendalikan berbagai hasrat animalistik sampai akhirnya terbentuk suatu keadaan yang harmonis, yang sudah disebutkan sebelum ini dengan istilah an-nafs muthmainah (jiwa yang tenang).

Karakter moral mengumpulkan seluruh kebaikan yang menyempurnakan manusia yang juga secara simultan mendekatkannya kepada Tuhan. Karena itu karakter moral ini bukan sekedar salah satu tujuan dalam kehidupan seorang muslim, tetapi juga tujuan dari kehidupan itu sendiri. Dalam konteks ini salah satu hadist nabi menyebutkan bahwa “muslim yang yang memiliki keimanan yang sempurna adalah muslim yang paling baik akhlaknya (moral)”. Ketika Rasulullah ditanya “apa yang terbaik diberikan kepada manusia?”,  maka Rasul menjawab  akhlak yang baik”.

Keperibadian Islami yang ideal sesungguhnya adalah personifikasi dari ajaran al-Quran. Ini sejalan dengan salah satu hadist nabi yang diriwayatkan oleh salah seorang istri nabi, Aisyah. Muhammad Saw telah berhasil mempersonifikasikan al-Quran ini. Sehingga pada keperibadiannya telah teraktualisasikan Nama-Nama Tuhan. Karena itu pula Al-Ghazali menggelarinya ‘manusia Tuhan” (godly man), dengan ciri-cirinya yang ia sebutkan sebagai berikut:

“The godly man is wise, courageous and temperate in the noblest sense of the words, and in the highest degree. He engages in worship, prayers, fasting, alms-giving, and similar acts, but his duties to God do not exclude his duties to family, relatives, friends, neighbors, slaves, subjects and society as a whole. He must earn his livelihood by strictly honest means. He must cultivate the best manners for all occasions, namely, he should know how to carry himself best at the table, in society, while traveling, and at the gathering of godly people and avoid causing the slightest pain to his fellowmen on any account. The Prophet should be his ideal and his inspiration all through his life. Lastly, his duty is not only to reform and perfect all the aspects of his life but to reform his fellowmen as well. And the motive force behind a perfect life is nothing other than the love and fear of God.”
   
Dari paparan tersebut, aspek utama keperibadian islami adalah dedikasi kepada Allah dan agama-Nya (Islam). Karena moral karakter adalah inti dari keperibadian Islam, maka secara alami ketaatan dan pengabdian kepada Allah dan  penyembahan manusia kepada-Nya mesti memainkan peran penting dalam kehidupan. Ini penting untuk tujuan membangun rasa takut dan cinta kepada Allah. Karena menurut al-Ghazali seluruh aspek karakter yang baik mengalir dari hubungan yang dilandasi rasa takut dan cinta sekaligus dalam hubungan dengan pencipta-Nya.

    Tetapi keperibadian islami melampui sekedar karakter yang baik. Ia masuk ke dalam kehidupan dunia sehari-hari. Menspiritualisasikan seluruh matrik kehidupan. Kehidupan merupakan totalitas organis sehingga prinsip-prinsip yang sama harus membimbing dan mengendalikan seluruh bagian kehidupan. Jadi dorongan untuk menyempurnakan diri harus mencakup pula keseluruhan hidup sehari-hari seorang muslim. Karena tidak ada yang diluar lingkup keperibadiannya. Dengan kata lain, kewajibannya tidak sekedar mereformasi diri sendiri, tetapi juga mereformasi orang-orang disekitarnya, melalui apa yang disebut dalam istilah al-Quran amr bi al ma'ruf wa nahi 'an al munkar (mengajak pada kebaikan, melarang keburukan).

    Karena itulah memajukan segala kebenaran, kebaikan, keindahan, keadilan, dan mencegah serta memberantas hal-hal sebaliknya sesuai dengan ketentuan Allah merupakan ciri yang sangat penting dari keperibadian Islami. Baik al-Quran dan al-hadist berkali-kali menekankan hal ini. Kegagalan melaksanakan ini adalah kematian moral dan spiritualnya, dus kematian keperibadiannya. Strategisnya persoalan ini dinyatakan dalam satu hadist yang sangat terkenal. “Jika kalian lihat sesuatu keburukan, maka rubahlah dengan tangannya; jika tidak bisa, maka dengan ucapannya; jika tidak bisa, maka dengan hatinya dan ini adalah selemah-lemahnya iman”.

Saturday, March 27, 2010

SPIRITUAL BASIS FOR HUMAN CAPITAL DEVELOPMENT

Sanerya Hendrawan

A recent interest in the study of human capital, particularly in The West, which take into account the spiritual dimension of man should be understood as a remarkable progress. This is not exaggerated given the fact that this dimension has no longer considered important aspect since the rise of what so-called modern sciences in European's Renaisance of the seventeenth centuries. Under the flag of Positivism, scientific claims are strictly limited to observable and measurable phenemona. Spiritual claims are regarded only as a remnant of the traditional past which merely hampers the progress of science and technology. While the achievement of scientific and technological development has been notable especially in terms of man's increasing control capacity over nature, its direction and impacts on man life in this planet are unbearable. To be precise, the loss of spirituality from the work of sciences and their results have threatened the sustainability of this planet, thus making the continuing true existence of man himself at risk.
Now, with the recognition of spiritual dimension in the pychological make-up of man, a new form of organizational capital is emerging, not only being confined to phisical and intelectual capital, but also including spiritual capital. Together, these three capitals affect the long term success of the organization in the market arena.
The significance of spiritual capital in affecting competitive advantage of organization is beyond doubt as, for instance, quality has been transformed from a mere statistic, and then total quality management, to metaphisical quality, or as long-term learning of organization is affected vitally by deeply spiritual meanings people derives from their engagement in the organizational life.
This new reality of capital has important implications for managing and developing human  capital in organizations. Some deserve attention here. First of all, there should be a shift of mind among managers and leaders in looking at human psyche and its dynamics. Now widely recognized that the Western concept of human psyche is too supervicial, being unable to penetrate into the more subtle and even transendental dimension of the psyche. Secondly, nurturing spiritual quality at individual and collective levels should be the concern of every leader and manager. Here they should become the model of a spiritual path finder, which together with all employee pursue spiritual progress through their dedication to the noblest goals of their organizations.