Dalam perspektif Islam, pendidikan dan pengembangan manusia memiliki tujuan yang holistik, integral, dan fungsional sekaligus. Ini sejalan dengan konsepnya tentang manusia yang juga holistik, sebagaimana sudah dikemukakan pada bab sebelum ini. Mencakup pengembangan ruh dan spiritualitas; jasmani dan jiwa (nafs); kesadaran dan keperibadian, ilmu dan amal; keyakinan (iman) dan moralitas serta karakter (akhlaq); intelegensi (aql) dan emosi serta hati (qalb). Semua aspek tersebut perlu dibangun secara simultan untuk terbentuknya manusia sempurna atau seutuhnya, yang telah disebutkan pada bab sebelumnya dengan istilah al-insan al-kamil.
Dengan konsepsi insan kamil tersebut, maka sebetulnya tujuan pendidikan adalah terbentuknya pribadi-pribadi yang mampu menyerahkan dirinya dengan sukacita kepada kehendak Allah (islam), yang secara efektif mampu berkiprah membangun dunia ini sebagai penghambaannya kepada Allah (abd) dan merealisasikan misinya sebagai pemimpin terpercaya di bumi (khalifah). Jadi, tujuan pendidikan jauh dari sekedar transfer pengetahuan, pengalaman, ataupun sikap dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Apalagi, jauh dari yang hanya berorientasi pada kepentingan pasar, ataupun sekedar kepentingan dunia (popularitas, kekayaan, kekuasaan), sebagaimana banyak yang mempersepsinya dewasa ini sebagai hasil sistem pendidikan Barat.
Dalam perspektif Islam, pendidikan diarahkan untuk menumbuhkan manusia dalam segala aspeknya tadi, serta mendorongnya ke arah puncak kebaikan dan kesempurnaan. Sehingga tujuan akhirnya adalah perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah, yang tidak lain adalah makna sejati dari Islam itu sendiri. Dengan demikian, terbentuknya keperibadian yang islami adalah tujuan akhir dari pendidikan dan pengembangan manusia.
Dalam keperibadian islami terintegrasi secara kompak berbagai unsur penting yang memfungsikan manusia dalam kehidupannya sebagai hamba (abd) dan sekaligus pemimpin (khalifah). Diantaranya mencakup hikmah, ilmu, keyakinan dan nilai, akhlak atau karakter. Unsur-unsur tersebut dibentuk oleh pengolahan akal dan pengendalian emosi serta pengarahannya, pengembangan imajinasi, maupun menata kekuatan kehendak dan motivasi. Dilihat dari sudut ini, pendidikan adalah proses membangun unsur-unsur tersebut serta melatih faktor-faktor pembentuknya tadi. Lewat proses pendidikan ini manusia disiapkan untuk meraih; bukan sekedar kebaikan atau kebahagiaan di dunia saja. Tetapi juga kebaikan dan kebahagian di alam sesudah kematian (akhirat).
Karena itu lingkup ilmu pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai pun bersifat holistik. Mencakup ilmu pengetahuan fungsional kealaman dan sosial kemanusiaan (semacam teknik permesinan atau marketing), dan pengetahuan tentang Tuhan (gnosis atau ma’rifat), tata cara menghambakan diri kepada Tuhan (ibadah), serta moral, sikap, dan tingkah laku manusia (akhlaq).
Jadi jelas, di sini tidak ada pemisahan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu non-agama, sebagaimana dipersepsi dalam Peradaban Barat yang sekuler. Apa yang dikenal dengan hukum-hukum kehidupan alam dan manusia, yang dipelajari oleh ilmu-ilmu alam dan sosial sekarang ini, sejatinya adalah tanda-tanda atau ayat-ayat Allah juga, yang seharusnya mendetakan kekaguman manusia kepada kebesaran pencipta-Nya dan karena itu mesti mendorongnya untuk menundukan diri kepada-Nya dengan suka cita.
Dalam tradisi keilmuan Islam, itu merupakan bagian dari ta-limul ayat. Sasarannya adalah menciptakan manusia yang dalam Surat Ali Imran 191-193 disebut dengan kualifikasi ulul albab. Manusia yang mampu mengembangkan kualitas pikir dan dzikir (mengingat Allah) sekaligus. Manusia yang mampu mentransformasi alam dan juga mentransformasi dirinya (Self). Tapi untuk mencapai kualifikasi ini diperlukan juga ta’limul kitab wal hikmah, yaitu pengenalan wahyu dan hikmah kenabian, serta tazkiyatun nafs (pensucian jiwa lewat berbagai praktek ibadah yang terdisiplin).
Dengan demikian dalam proses pendidikan yang bertujuan menciptakan manusia seutuhnya atau manusia sempurna (insan kamil), maka mesti berlangsung tiga hal secara simultan. Pertama adalah mempelajari fenomena alam dan sosial sebagai tanda-tanda kebesaran Tuhan (ta’limul ayat). Kedua, mempelajari al-quran dan sunnah rasul (ta’limul kitab wal hikmah). Ketiga, membersihkan jiwa supaya bisa menerima dengan mudah ilmu dan hikmah (tazkiyatun nafs).
Karakter Profetik Sebagai Keperibadian Islami
Lalu sesungguhnya apa yang membedakan keperibadian Islami dari yang non-islami, yang sudah disebutkan di atas menjadi tujuan dari pendidikan? Tidak ada satu kata kunci yang paling pas yang membedakannya selain karakter moral. Karakter yang mengambil contoh terbaiknya dari keperibadian Nabi Muhammad Saw. Karena itu pula, sejatinya keperibadian islami bersifat profetik. Keperibadian ini menghadirkan kesadaran tentang Tuhan (tauhid) ke dalam setiap momen kehidupan. Kehidupan yang senatiasa terisi dengan keimanan dan ketakwaan. Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram” .
Jadi, keperibadian islami bermuara pada karakter moral yang tinggi. Mencakup keyakinan, trait, atribut, perilaku, sopan santun, dan adab-adab. Semua ini mengena pada setiap aspek kehidupan antar pribadi yang meliputi hubungan antar manusia, manusia dan Tuhan, individu dan keluarga, individu dan masyarakat dan lingkungan alam. Muhammad Al-Ghazali dalam buku Muslim’s Characters (1996), misalnya, mendeskripsikan lebih spesifik keperibadian islami ke dalam beberapa katagori: benar, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, tulus, beretiket, hati bersih dari rasa benci, kuat, toleran dan pemaaf, dermawan, sabar, moderat, suci, bersaudara, menata waktu, baik hati, pembelajar dan intelek. Semua karakter ini mesti termanifestasikan dalam tindakan, pikiran, ataupun perkataan sehingga keperibadian menjadi integral atau utuh.
Keperibadian islami dibentuk oleh penegakan praktek-praktek ibadah Islami yang membutuhkan aksi dan cara hidup yang terfokus secara terus menerus pada penyerahan diri secara total kepada kehendak Allah. Karena itu keperibadian ini bukan sekedar identitas yang pasif. Tetapi aktif, dengan memanifestasi dalam setiap tindakan yang dilakukan manusia. Upaya menyerahkan diri ini membutuhkan suatu perjuangan untuk menyeimbangkan berbagai kekuatan diri (Self) serta mengendalikan berbagai hasrat animalistik sampai akhirnya terbentuk suatu keadaan yang harmonis, yang sudah disebutkan sebelum ini dengan istilah an-nafs muthmainah (jiwa yang tenang).
Karakter moral mengumpulkan seluruh kebaikan yang menyempurnakan manusia yang juga secara simultan mendekatkannya kepada Tuhan. Karena itu karakter moral ini bukan sekedar salah satu tujuan dalam kehidupan seorang muslim, tetapi juga tujuan dari kehidupan itu sendiri. Dalam konteks ini salah satu hadist nabi menyebutkan bahwa “muslim yang yang memiliki keimanan yang sempurna adalah muslim yang paling baik akhlaknya (moral)”. Ketika Rasulullah ditanya “apa yang terbaik diberikan kepada manusia?”, maka Rasul menjawab akhlak yang baik”.
Keperibadian Islami yang ideal sesungguhnya adalah personifikasi dari ajaran al-Quran. Ini sejalan dengan salah satu hadist nabi yang diriwayatkan oleh salah seorang istri nabi, Aisyah. Muhammad Saw telah berhasil mempersonifikasikan al-Quran ini. Sehingga pada keperibadiannya telah teraktualisasikan Nama-Nama Tuhan. Karena itu pula Al-Ghazali menggelarinya ‘manusia Tuhan” (godly man), dengan ciri-cirinya yang ia sebutkan sebagai berikut:
“The godly man is wise, courageous and temperate in the noblest sense of the words, and in the highest degree. He engages in worship, prayers, fasting, alms-giving, and similar acts, but his duties to God do not exclude his duties to family, relatives, friends, neighbors, slaves, subjects and society as a whole. He must earn his livelihood by strictly honest means. He must cultivate the best manners for all occasions, namely, he should know how to carry himself best at the table, in society, while traveling, and at the gathering of godly people and avoid causing the slightest pain to his fellowmen on any account. The Prophet should be his ideal and his inspiration all through his life. Lastly, his duty is not only to reform and perfect all the aspects of his life but to reform his fellowmen as well. And the motive force behind a perfect life is nothing other than the love and fear of God.”
Dari paparan tersebut, aspek utama keperibadian islami adalah dedikasi kepada Allah dan agama-Nya (Islam). Karena moral karakter adalah inti dari keperibadian Islam, maka secara alami ketaatan dan pengabdian kepada Allah dan penyembahan manusia kepada-Nya mesti memainkan peran penting dalam kehidupan. Ini penting untuk tujuan membangun rasa takut dan cinta kepada Allah. Karena menurut al-Ghazali seluruh aspek karakter yang baik mengalir dari hubungan yang dilandasi rasa takut dan cinta sekaligus dalam hubungan dengan pencipta-Nya.
Tetapi keperibadian islami melampui sekedar karakter yang baik. Ia masuk ke dalam kehidupan dunia sehari-hari. Menspiritualisasikan seluruh matrik kehidupan. Kehidupan merupakan totalitas organis sehingga prinsip-prinsip yang sama harus membimbing dan mengendalikan seluruh bagian kehidupan. Jadi dorongan untuk menyempurnakan diri harus mencakup pula keseluruhan hidup sehari-hari seorang muslim. Karena tidak ada yang diluar lingkup keperibadiannya. Dengan kata lain, kewajibannya tidak sekedar mereformasi diri sendiri, tetapi juga mereformasi orang-orang disekitarnya, melalui apa yang disebut dalam istilah al-Quran amr bi al ma'ruf wa nahi 'an al munkar (mengajak pada kebaikan, melarang keburukan).
Karena itulah memajukan segala kebenaran, kebaikan, keindahan, keadilan, dan mencegah serta memberantas hal-hal sebaliknya sesuai dengan ketentuan Allah merupakan ciri yang sangat penting dari keperibadian Islami. Baik al-Quran dan al-hadist berkali-kali menekankan hal ini. Kegagalan melaksanakan ini adalah kematian moral dan spiritualnya, dus kematian keperibadiannya. Strategisnya persoalan ini dinyatakan dalam satu hadist yang sangat terkenal. “Jika kalian lihat sesuatu keburukan, maka rubahlah dengan tangannya; jika tidak bisa, maka dengan ucapannya; jika tidak bisa, maka dengan hatinya dan ini adalah selemah-lemahnya iman”.