Wednesday, November 3, 2010

PERILAKU: REFLEKSI KEMAMPUAN MERESPON SITUASI

Sanerya Hendrawan


Satu konsep menarik dari quantum learning yang relevan digunakan untuk menjelaskan perilaku islami adalah apa yang disebut “living above or below the line”. Yang dimaksud dengan “garis” kehidupan di bawah atau di atas pada konsep tersebut merujuk pada tingkat tanggung jawab (responsibility) kita sebagai manusia dalam mengelola kehidupan ini. Ibarat horizon yang menjadi batas antara bumi dan langit, “garis” di sini mengartikan kekuatan dari karakter manusia. Sadar ataupun tidak, setiap orang memilih hidup satu diantara dua tempat tersebut; apakah ‘di bawah atau di atas garis’.


Istilah responsibility di atas sebetulnya tersusun dari dua kata respon-ability. Jadi mengandung arti, kemampuan kita untuk merespons atas situasi-situasi kehidupan yang dihadapi. Apakah kita proaktif, misalnya; mengambil kendali atas pilihan-pilihan kita, sehingga kita mengendalikan hasil-hasilnya. Atau malah sebaliknya reaktif, membiarkan orang lain atau lingkungan mengendalikan kita, sehingga kita menyalahkan atau menolak ketika gagal atau mendapatkan situasi buruk. Dalam kondisi semacam ini, pernyataan tipikal orang yang hidup below the line adalah "I have no control over my life - outside circumstances control my life. Dus, orang semacam ini sebetulnya “tidak memiliki diri sendiri”. Dengan kata lain mengalami victim mentality, merasa jadi korban orang lain atau lingkungan.


Perspektif Islam justru mendorong perilaku living above the line. Banyak ayat al-Quran yang bicara perlunya perilaku hidup yang proaktif, inisiatif, mengambil pilihan secara sadar, percaya pada kekuatan diri untuk membentuk kehidupan sendiri, tentu yang sesuai pula dengan keinginan kita. Dengan kata lain perlunya mengembangkan success mentality dalam seluruh perilaku kehidupan kita. Simaklah pernyataan pada Surat an-Najm 39: wa allaisa lil insaani illa maa sa’aa, yang maknanya; dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Kemudian pada surat Al Mumin 17 “Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya. Kedua ayat tersebut menegaskan, apa yang terjadi pada kita, baik atau buruk, adalah akibat dari perbuatan kita sendiri. Tidak bisa menyalahkan orang lain. Semuanya adalah akibat pilihan dan usaha kita sendiri.


Jadi dalam perspektif Islam, pernyataan semacam “saya tidak punya kendali atas kehidupan saya” – “orang lain menentukan kita" adalah sebuah kebohongan besar. Karena sejatinya, sekalipun keadaan di luar mempengaruhi kita, namun itu tidak harus mengendalikan kita. Kitalah yang menentukan, apakah membiarkannya  mengendalikan kita atau tidak. Singkat kata,  kita bisa memilih dengan sadar dan menentukan respon-respon kita sendiri. Sesungguhnya Tuhan telah melengkapi manusia dengan berbagai fakultas yang mendukung kebebasan memilih secara cerdas. Pada diri manusia ada ‘akal’ yang mampu memahami kebenaran, ‘kesadaran’ atas situasi dan tanggung jawab kehidupannya, dan ‘kehendak’ untuk meraih kebaikan ataupan kebahagiaan. Kemudian dari luar, disempurnakan dengan ‘petunjuk wahyu’ al-Quran dan contoh kehidupan Rasulullah Muhammad saw (as-Sunnah), yang mengatasi keterbatasan inherent pada akal untuk memahami hakekat konsepsi kehidupan manusia yang benar, baik, dan indah dalam semesta realitas. Jadi, lengkaplah sebetulnya peralatan yang diperlukan manusia untuk memilih dan mengambil respon perilaku kehidupan yang benar.


Living above the line menuntut pengembangan kemampuan merespon (respon-ability) setiap individu atas setiap tantangan kehidupannya. Ini berarti perlunya pendidikan yang mengasah dan mengembangkan akal cerdas dan sehat, menyadarkan manusia kepada misi dan tugas-tugas kehidupannya yang hakiki sebagai hamba (abd) dan pemimpin (khalifah) di muka bumi ini, dan membangkitkan kehendak atau motivasinya pada cita-cita yang luhur meninggikan kalimat tauhid (islam). Dengan kata lain perlunya pendidikan holistik, yang secara integral memadukan iman dan takwa (IMTAK) dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK),  sebagaimana yang telah kita bahas pada bagian lain. Penguasaan IMTAK-IPTEK adalah syarat bagi sempurnanya usaha atau ikhtiar manusia di dunia maupun pertanggungan jawabnya kelak (responsibility) kepada Tuhan-Nya di yaumil akhir.



Pola Hidup Above the line


Jadi dalam perspektif Islam, “hidup di atas garis” menyiratkan perilaku manusia yang mampu merespon atas tuntutan dari tanggung jawabnya sebagai hamba (abd) dan sekaligus sebagai pemimpin (khalifah). Tidak ada makna lain dari “batas” garis atas dan bawah ini selain keimanan.  Sebagai hamba berarti manusia mesti menghadapkan diri sepenuh hati kepada-Nya, patuh dan teguh pada ketentuan-Nya, bergegas kepada seruan-Nya, bersemangat memenuhi segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-nya, disertai rasa cinta kepada-Nya. Dengan kata lain perlu beriman dan bertakwa (IMTAK). Sedangkan sebagai pemimpin, manusia dipilih Tuhan dengan mandat untuk mewakili-Nya dalam memelihara dan mengembangan bumi, dengan seluruh ciptaan di dalamnya, sebagai tempat kehidupan yang baik dan sejahtera (al-hayatun thoyibah). Ini berarti manusia harus menggali, melalui ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), sumber daya yang terkandung dalam seluruh ciptaan-Nya. Yakni berupa kemanfaatan dan kemaslahatan yang dimiliki oleh setiap ciptaan, yang sejatinya telah dipersiapkan Tuhan untuk memberi kemaslahatan kepada manusia sesuai dengan kebutuhan dan potensinya masing-masing.


Peran manusia sebagai ‘slave’ yang simultan dengan ‘master’ tadi memang unik. Membutuhkan kesetimbangan di dalam realisasinya. Beruntung, karena dalam perspektif Islam kita menemukan figur ideal yang memadukan kedua peran tadi secara seimbang dengan sempurna dalam pribadi Rasulullah Muhammad saw. Perannya bukan saja sekedar pemimpin umat, tetapi juga seorang hamba Allah yang menikah, punya anak dan cucu, berdagang, menderita dalam kemiskinan dan tekanan pihak lain lalu berjuang bersama manusia lain, dan memperoleh kemenangan, tentu dengan pertolongan Tuhan, dan menjadi penguasa. Pendek kata sarat dengan pengalaman-pengalaman besar yang lazim dihadapi manusia di dunia ini. Jadi bagi manusia lain, yang bermaksud menyempurnakan kemanusiannya, tinggal mengikuti saja suri teladan manusia sempurna ini (al-insan al-kamil), Rasulullah Muhamad saw.


Kita juga bisa merasakan nuansa perilaku hidup above the line sebagai refleksi seorang hamba dan pemimpin dari Surat Al-Furqon 63-76. Di sana disebutkan sembilan perilaku yang ditampilkan oleh ‘‘ibaadurrohmani”, hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang:

  1. Rendah hati dalam menjalani kehidupannya dan senantiasa membawa keselamatan kepada lingkungannya
  2. Bersujud dan berdiri untuk Tuhan-Nya di malam hari. Jadi senantiasa dilaluinya dengan mendekatkan diri kepada Allah.
  3. Senantiasa berdoa memohon keselamatan
  4. Moderat di dalam pembelajaannya. Jadi tidak boros, tidak juga kikir.
  5. Mengesakan Tuhan (tauhid), menjaga kehidupan orang lain, dan memelihara kesucian diri dari perbuatan keji
  6. Senantiasa mohon ampunan dan kembali kepada Tuhan-Nya serta melakukan amal saleh
  7. Jujur, senantiasa produktif, dan menjaga kehormatan diri dari perbuatan tidak bermanfaat
  8. Peka dan responsif terhadap ayat-ayat Tuhan
  9. Berdoa memohon keluarga yang saleh dan jadi ikutan serta pemimpin orang-orang yang takwa

Jelas sekali, perilaku manusia yang hidup “di atas garis” menunjukan mentalitas berkelimpahan (abundance mentality). Sehingga dirinya senantiasa menyejukan lingkungan dan sesamanya serta lapang dada, bersih dan tenang, mantap dalam keyakinan, adil, tulus dan terhormat, produktif, peka dan peduli terhadap sekelilingnya, mengakui kesalahan dan segera mengkoreksinya, membangun komunitas yang saleh dan memberi contoh terbaik kepada orang lain, dan menjadi pemimpin orang-orang pilihan. Semuanya ini tidak lain adalah perilaku manusia unggulan, par exellence.