Friday, May 17, 2013

HUMAN DEVELOPMENT PERLU EDUKASI AL-AKHLAK AL-KARIMAH


Sanerya Hendrawan

Pengembangan human capital dalam sebuah organisasi islami dilakukan dengan merujuk kepada kebutuhan strategis jangka panjang organisasi yang holistik, yakni dalam konstelasi kebutuhan umat untuk membangun kembali Peradaban Islami. Organisasi adalah salah satu pilar Peradaban Islam yang menjadi wadah berskala mikro bagi pencetakan dan penggodokan (training ground and melting pot) kader-kader kreatif pembangun dan penjaga peradaban. Kader-kader kreatif ini bekerja dalam kerangka misi organisasi tadi untuk menghasilkan barang dan jasa, yang diharapkan membawa dampak pada kemakmuran dan kesejahteraan konsumen sehingga meningkatkan kekuatan dan martabat mereka sebagai umat di tengah persaingan (fastabikul khoirot) yang berskala global. Mereka para kader kreatif ini mendapatkan 'kepuasan spiritual' dari bekerja ikhlas yang dilakukan secara ihsan dan itqan untuk tujuan meraih ridho Ilahi di dalam barisan jemaah islami yang kuat. Sehingga dengan upaya mereka ini, organisasi bisa eksis, tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan (sustanaible), menjadi instrumen yang tangguh bagi perjuangan umat dalam meninggikan Islam sebagai kekuatan peradaban global.

Karena itu sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, pengembangan insan organisasi bersifat holistik dalam perspektif islam. Mencakup intelektualitas, emosionalitas, dan spiritualitas; yang semua ini sesungguhnya menjadi mata air (al-bathin) perilaku produktif dan konstruktif di dalam organisasi dan masyarakat (az-zhahir). Perspektif Barat baru belakangan ini memahami human resource development (HRD) sebagai “human development” (HD) yang memerlukan juga perkembangan spiritual di tempat kerja, termasuk pengakuan pada eksistensi Tuhan sebagai bagian penting dari spiritualitas ini dan agama sebagai pengungkapannyaii. Sehingga peningkatan pengetahuan dan keterampilan vokational, yang umumnya hanya terkait dengan pekerjaan, dirasakan tidak lagi memadai. Dibutuhkan edukasi holistik (holistic education) bagi pegawai yang menyentuh pembentukan keperibadian yang lebih integral atau utuh (well-rounded personality), termasuk kearifan (wisdom)iii.

Jauh sebelum perkembangan ini, seorang tokoh Peradaban Barat pernah mengatakan, setiap peningkatan pengetahuan dan ketarampilan manusia mesti diikuti secara simultan dengan peningkatan kearifan (wisdom), karena yang pertama bisa meningkatkan kapasitas manusia untuk berbuat jahativ. Dalam pengertian lebih spesifik ini bisa dikatakan memberi peran kepada agama dan spritualitas sebagai bagian dari pengembangan manusiav, sehingga menyentuh bukan saja pengembangan pikiran (mind development), tetapi juga pengembangan moralitasvi, selain juga kapabilitas manusia harus dibaktikan pada kebaikan masyarakatvii. Semua perkembangan ini menunjukan pengakuan dalam wacana pengembangan sumberdaya manusia (HRD) pada dimensi yang lebih luas. Tentu dengan penerimaan segala tujuan yang lebih normatif yang menyertainya; seperti nilai-nilai kebaikan (goodness) kejujuran (honesty), dan integritas (integrity).

Jelas, dalam perspektif Islam semua itu tidak lain adalah edukasi al-akhlak al-karimah. Sejalan dengan etimologi kata akhlaq dari “khuluq” yang berarti ciptaan, dan ini berarti punya asal yang sama dengan khaliq yang berarti pencipta (Allah). Maka semakin jelas bahwa pembentukan al-akhlaq al-karimah ini relevan dalam rangka menyiapkan organisasi sebagai pilar peradaban islam. Karena pertama, pembentukan akhlaq islami berarti menyiapkan insan yang akan sanggup berperilaku dengan tata aturan yang tinggi dalam berinteraksi dengan dirinya sendiri (self), orang lain (others), lingkungan dan semesta (environment or universe), dan Tuhan (Allah). Dikatakan tinggi karena bercirikan kebajikan yang mutlak, kebaikan yang menyuluruh, tetap dan mantap (tidak terpengaruh zaman), menjadi motivator perilaku. Kedua, pembentukan al-akhlaq al-karimah berarti memadukan kehendak Ilahi sebagai pencipta dengan perilaku manusia sebagai ciptaan-Nya. Dan ini berarti penyerahan diri atau penghambaan total manusia kepada-Nya (ibadah). Pembentukan ini berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, penguatan kondisi primordial manusia (fitrah). Tahap kedua, pembentukan kebiasaan baik (adab) secara konsisten. Dan fase ketiga, praktek dan usaha yang sadar untuk mencenderungkan diri pada sesuatu kebiasaan yang baik. Setiap perilaku manusia mengandung nilai akhlak manakala sesuai dengan tuntutan ilahi (al-quran dan as-sunnah). Karena itu pula, pusat akhlaq adalah iman dan takwa (IMTAK). Sehingga itu pula pengembangan al-akhlak al karimah sebagai dimensi human development termasuk bagian yang tak terpisahkan dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).

Monday, February 11, 2013

PEMBELAJARAN SEBAGAI PENGAKTUALISASIAN

Sanerya Hendrawan

Dengan melihat hakekat dari pembelajaran adalah perubahan yang berkelanjutan dalam dimensi spiritual, mental, emosional, dan fisis individu. Sementara perubahan ini mengarah pada kualitas keperibadian islami yang disebut insan kamil. Maka pembelajaran dalam perspektif Islam berfungsi sebagai pengaktualisasian potensi-potensi terbaik manusia. Inti kesejatian dari potensi ini bersifat spiritual. Yakni Sifati-Sifat keilahian (al-asma al-husna) yang ditularkan kepada manusia melalui peniupan ruh (spirit) ke dalam jasad (body). Sehingga insan kamil yang menjadi poros dari keseluruhan proses pembelajaran ini merupakan pencerminan Tuhan,  imago dei. Karena itu, pembelajaran bisa berarti pula realisasi dari potensi-potensi sifat-sifat keilahian yang melekat dalam kesejatian manusia, sehingga dengan realisasi ini manusia layak menjadi pengganti atau wakil Tuhan di muka bumi ini (khalifatul ardh).

Di dalam spektrum keseluruhan ciptaan, insan kamil menjadi sebaik-baik ciptaan Tuhan. “Laqad kholaqnaal insaana fii ahsanittaqwiim” (Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya)i. Kejatuhan dari kualitas insan kamil ini menjadikan manusia seburuk-buruk ciptaan, “Tsumma radadnaahu isfala saafiliin” (kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya)ii. Penolakan terhadap Tuhan (al-kufr) membuat manusia melakukan penghancuran atas alam maupun dirinya sendiri (al-fasad). Ini tentu bertolak belakang dengan misi dan peran khalifah, yang mengandaikan keimanan sempurna (imaan) serta berbuat segala kebaikan dengan spektrum luas (amilun solihuun), dengan substansi seperti memakmurkan, memperbaiki, memelihara semua karunia yang diberikan Tuhan, berupa bumi dengan segala isinya ini, bahkan juga alam semesta.

Karena itu, selain berbagai dimensi konvensional yang sudah biasa dipakai, efektifivitas proses pembelajaran untuk membentuk insan kamil juga mesti memperhitungkan pencapaian pada dimensi yang terkait dengan karakter terpuji (akhlakul karimah), keimanan kepada Allah (ma'rifatullah), kesucian jiwa (tazkiyatun nafsun). Dimensi yang terakhir ini mesti digali dari sumber-sumber pemikiran klasik dan  moderen islami. Karena teori pembelajaran Barat telah mengabaikan dimensi yang lebih bersifat spiritual ini. Walaupun belakangan sudah mulai muncul pemikiran ke arah ini. Namun masih relatif pemikiran minoritas. Kita akan membahas persoalan ini dalam kesempatan lain.

Cukuplah untuk sementara dikatakan di sini, perjalanan hidup seorang muslim menjadi manusia paripurna (al-insan al-kamil) adalah sebuah proses pembelajaran seumur hidup (long-life learning). Di mana dalam proses ini berlangsung proses sirkuler secara progresif, baik dengan pola tunggal (single loop learning), ganda (double loop learning), maupun multi (triple loop learning). Proses mana mencakup (1) musyarathah (penentuan tujuan dan standar yang nanti jadi dasar pengukuran kinerja belajar), (2) muhasabah (pengukuran pencapaian atau measurement dan perbandingan standar dengan capaian riil atau comparison serta pengambilan keputusan atau decision making. Lalu (3) mua'aqabah dan mu'atabah (tindakan perbaikan atau correction). Dan akhirnya (4) mujahadah (kesungguhan melaksanakan perbaikan terus menerus yang tidak lain adalah commitment to excellent. Akibat pergerakan sirkuler ini, maka berlangsung perubahan kualitas kesadaran spiritual dari tingkat an-nafs al-amarah, menjadi an-nafs al-lawamah, hingga akhirnya sampai pada puncak kesadaran spiritual an-nafs al-muthmainah. 

Gerakan progresif dalam proses pembelajaran itu, hingga kemudian mampu berperan sebagai wakil Tuhan di bumi (al-kalifatul ardh) yang sekaligus sebagai hamba-Nya yang mukhlis, disebutkan dalam sebuah hadist dengan pernyataan: “barangsiapa yang harinya sekarang lebih baik daripada kemarin maka dia termasuk orang yang beruntung. Barangsiapa yang harinya sama dengan kemarin, maka dia adalah orang yang merugi. Barangsiapa yang harinya sekarang lebih jelek daripada harinya kemarin maka dia terlaknat”. Pernyataan hadist ini, yang sekalipun tidak lain adalah apa yang dewasa ini disebut continuous improvement dalam kepustakaan total quality management, namun gerakan  perbaikan progresif ini menembus batas dunia ini, dan masuk kedalam apa yang sudah dikatakan Iqbal “...to approach, meet, and finally 'unite' with The Ultimate Reality”. Penyatuan dengan Tuhan sebagai realitas terakhir ini teralisir di dunia ini dengan menjadi khalifah sekaligus hamba-Nya. Kedua fungsi mana telah dicontohkan dengan sempurna dalam pribadi Rasulullah Muhammad saw. Referensi belajar menjadi manusia paripurna (al-insan al-kamil), karena itu, mesti diletakan pada pribadi Muhammad saw. Dikatakan dalam al-quran: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat, dan dia banyak menyebut Allah".

Monday, December 31, 2012

KARAKTER PEMIMPIN MENDUKUNG KEBERHASILAN PROSES PEMBELAJARAN

Sanerya Hendrawan

Menciptakan proses pembelajaran yang mengarah pada pembentukan insan kamil memerlukan karakter tertentu yang istimewa dari pemimpin. Mencakup intelektual, emosional, dan spiritual. Dalam konteks psikologi sufistik, ketiga aspek ini masuk ke dalam wilayah hati (soul, nafs). Dalam satu hadist dari Abi Abdillah An Nu’man bin Basyir ra disebutkan sabda Rasulullah Muhammad saw:

 “…Ketahuilah, bahwa dalam tubuh terdapat mudghah (segumpal daging), jika ia baik, maka baik pula seluruh tubuhnya. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati".

Maka berdasarkan hadist ini disepakati, ‘hati’ mempengaruhi kualitas aspek lahir dari manusia, seperti tindakan individual dan sosialnya. Dengan kata lain, baiknya hati jadi penentu baiknya kualitas perbuatan manusia. Sementara mind, body, and spirit adalah entitas yang terintegrasi, sebagaimana ditemukan dalam berbagai kajian mutakhir, maka kualitas perbuatan lahir ini membawa efek balik pada tubuh (body, jasad), maupun pada jiwa (soul, an-nafs). Sehingga kualitas tubuh dan jiwa pun akan berhubungan pula secara erat dengan kualitas perbuatan ini. Dengan kata lain, lewat mekanisme feedback , ada hubungan sirkuler (loop) yang saling memperkuat (reinforcing), diantara perbuatan badan (body), aktivitas pikiran (mind), dan kualitas jiwa (spirit).

Terhadap fenomena sirkuler itu, ada beberapa ayat alquran. Misalnya pada ayat berikut terlihat, keimanan yang benar melahirkan peningkatan keimanan pula: “Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. Begitu juga mengikuti petunjuk Ilahi, menyebabkan seseorang berada di atas petunjuk pula. Jadi di sini, ada dua keimanan. Keimanan pertama, dan keimanan kedua. Ada petunjuk pertama, ada petunjuk kedua. Tentu yang kedua kualitasnya lebih tinggi dari yang pertama. Dan demikianlah terus berlanjut, hingga meningkat pada keimanan dan petunjuk lebih tinggi, dengan intensitas cahaya yang semakin kuat pula dalam menerangi kehidupan manusia.

Karena itu, menjalani kehidupan spiritual sejati - yang tidak lain adalah hidup dengan mengikuti petunjuk Ilahi dan Sunah Rasul - tidak lain adalah ketekunan dan kesungguhan (jihad) untuk menggapai cahaya yang semakin kuat itu. Hingga kemudian dengan cahaya ini pula manusia naik untuk meraih cahaya lebih tinggi. Cahaya di atas cahaya. Hingga akhirnya sampai kepada Allah, sebagai Cahaya Tertinggi, Sumber dari segala cahaya. 

Demikianlah dalam Surat an-Nuur 35 disebutkan cahaya ini:

“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Maqam perjalanan seseorang mendaki puncak cahaya dari segala cahaya ini akan tercermin pada kekuatan akhlak atau karakter. Karakter adalah buah dari keyakinan (al-iman) dan penghambaan yang benar kepada Tuhan (ibadah). Semua peribadatan dalam Islam, yang sudah disebutkan di muka, adalah sarana pembelajaran menuju insan kamil, dan selalu dikaitkan dengan tujuan pembenahan dan penyempurnaan akhlak ini. Demikianlah, shalat dimaksudkan untuk mencegah perbuatan keji dan buruk. Zakat untuk mensucikan jiwa dan membersihkan hati. Puasa untuk mencegah perbuatan kotor. Bahkan diutusnya kerasulan Muhammad saw adalah justru dalam rangka penyempurnaan akhlak  ini. Inna arsalnaka rahmatan lil alamiin. Maka dengan kesempurnaan akhlak ini, seorang muslim menjadi kebaikan bagi alam semesta.

Perlu ditegaskan, semua sarana pembelajaran pada akhirnya harus bisa membentuk akhlak rahmatan lil alamin. Profil sempurna dari pencapaian akhlak rahmatan lil alamin ini sudah terkristal pada pribadi Rasulullah Muhammad saw. Dalam al-Quran ditegaskan profil ini, “wa innaka la’alaa kholqi adzhiim” (Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung). Dengan demikian, pribadi Rasulullah menjadi rujukan utama setiap upaya imitasi figur dari seorang pembelajar. Meniru pribadinya dan mengikuti perikehidupannya adalah jalan satu-satunya untuk sampai pada kesempurnaan yang sesungguhnya dari menjadi manusia (al-insan al-kamil). Karena itu bisa dipahami sebuat ayat al-Quran, “Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Cuplikan dari tulisan Sanerya Hendrawan, Kepemimpinan dalam Konteks Pembelajaran Menuju Insan Kamil.

Sunday, December 23, 2012


KETAKWAAN SEORANG PEMIMPIN SEBAGAI PENGUAT PENGALAMAN BELAJAR


Sanerya Hendrawan


Sejatinya kepemimpinan adalah upaya membangun generasi unggul. Tetapi tidak mudah menempuh jalan ini. Karena itu yang paling dibutuhkan seorang pemimpin dalam upaya ini adalah perasaan kuat, bahwa Allah menyertai pada setiap langkah, gerak, dan diam dirinya. Dan perasaan ini adalah nikmat serta karunia yang hanya diberikan kepada orang-orang beriman. “Dan sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang beriman”. Begitu pula hanya diberikan kepada orang-orang yang takwa. “Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang bertakwa”. Demikian Alquran menegaskan.

Karena itu keimanan dan ketakwaan, seperti dikatakan Syaikh Mushthafa Masyhur, salah seorang tokoh Ikhwanul Muslimin Mesir, adalah:
“Bekal ... yang dapat memancarkan sumber-sumber kebaikan dari lubuk hati,  melahirkan potensi besar, serta memupuk dan mempertajam tekad dan kemauan sehingga gerakannya menjadi gesit, tarikan-tarikan dunia melemah, dapat mengatasi berbagai rintangan dan bujukan, dan rambu-rambu jalan semakin jelas terlihat. Kejujuran, ketulusan, keikhlasan, kekuatan tekad, dan ketegaran akan menghiasi jiwa, sehingga dapat mewujudkan prestasi di jalan dakwah laksana mujizat”.

Jelas, ketakwaan jadi pintu memasuki kebersamaan dengan Allah. Dengan rasa kebersamaan ini seorang pemimpin bisa konsisten, dan jadi panutan pengikutnya. Kemudian bisa sabar dan tetap mengajak orang-orang untuk meningkatkan kualitas kehidupan material dan spiritual mereka. Lalu termotivasi kuat untuk membangun kesadaran kolektif umat (ukhuwah islamiah). Hingga akhirnya bersungguh-sungguh membangun bangsa dan umat yang kuat, yang menjadi rahmatan lil alamiin. Yakni memberi kebaikan, bukan saja bagi manusia seluruhnya, tetapi bahkan bagi semua makhluk di dalam semesta ini. Semua ini sesungguhnya adalah sikap dan perilaku pemimpin yang sangat dibutuhkan di era kita ini, dan khususnya lagi dalam proses pembelajaran yang membentuk manusia paripurna; al-insan al-kamil

Proses pembelajaran ini membutuhkan penguasaan diri (personal mastery) dari ego pribadi yang destruktif (as-syahwat). Sementara pada saat yang sama, perlunya mengembangkan ego universal (al-fitrah) yang konstruktif. Maka, menundukan ego destruktif di bawah ego universal, lalu mengembangkan ego yang kedua ini, hingga dicapai kualitas jiwa yang damai  (an-nafs al-muthmainah), tidak lain adalah substansi dari ketakwaan itu sendiri.  

Kemudian dalam pembelajaran ini dibutuhkan peran kelompok yang sangat kuat (jemaah) yang berfungsi sebagai team learning. Karena hanya dalam  jemaah (dari yang berskala kecil hingga besar), keislaman yang sejati bisa terbentuk dan terwujudkan. Dengan kata lain, kelompok menjadi tempat belajar yang sesungguhnya bagi individu dalam mengembangkan individualitas keislaman. Individualitas yang sudah melebur dalam semangat jemaah untuk ber-amar ma’ruf nahi munkar. Termasuk di sini menciptakan perbaikan sosial, membangun produktivitas, dan mencetak setiap prestasi terbaik untuk lingkungan dan masyarakatnya, hingga terbangun peradaban islami yang membawa kebaikan bagi semesta alam. 

Kemudian merapatkan barisan kelompok pembelajaran (team learning) sebagai sarana untuk mengembangkan keislaman yang sejati. Maka keduanya ini, personal mastery dan team learning, tidak memiliki makna spiritual yang benar jika tidak diarahkan pada cita-cita tertinggi keislaman. Karena itu pemimpin perlu mengkristalisasikan dan menghidupkan ideal-ideal keislaman ini dalam visi yang dihayati, dihidupi, dan dimaknai secara bersama dalam kelompok maupun masyarakat (sharing vision). Sehingga kemudian menjadi kekuatan energik yang menggerakan seluruh pembelajar dalam kelompok ini ke arah yang satu; khairo ummah. Umat terbaik, yang memimpin arah perkembangan dunia ini dengan peradaban yang tegak di atas kalimat tauhid (al-kalimatu thoyibun). Substansi karakter kepemimpinan ini adalah, mengembangkan dunia ini dengan segala kebaikan dan mencegah segala keburukan (amar ma’ruf wa nahi munkar). Substansi dan pengaruh kalimat tauhid ini pada kehidupan tergambar secara simbolis dalam Surat Ibrahim 24-25:

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat”.

Tauhid dan kalimat tauhid pada dasarnya menyatukan segala sesuatu, baik di alam nyata maupun gaib, ke dalam kesatuan  penciptaan, pengaturan, dan pengabdian (unity of creation). Yang dengan penyatuan ini maka tercipta perdamaian dengan diri sendiri (self). Damai dengan orang lain (others). Damai dengan alam (nature). Perdamaian, yang tidak lain adalah makna sejati dari Islam sendiri. Maka dari itu keislaman sebetulnya menghendaki berpikir dalam kerangka kesisteman yang bersifat Ilahiah (system thinking). Makna kalimat “laa ilaa ha illallaah” menyiratkan mutlaknya kesisteman yang harmonis antara manusia dengan dirinya, dengan manusia lain, dengan lingkungan alam, dan dengan sistem kehidupan lain yang lebih luas dan lebih tinggi. Dan sesungguhnya kesisteman yang harmonis ini tercapai hanya dan melalui penyerahan diri secara total kepada kehendak Ilahi.

Bagian dari bab "Kepemimpinan Untuk Pengembangan SDM" dalam, Sanerya Hendrawan,  "Pengembangan Sumberdaya Insani: Perspektif Islam ..."

Sunday, January 1, 2012

METODA PEMBELAJARAN: PERSPEKTIF MEMBANGUN INSAN KAMIL


Sanerya Hendrawan

Insan kamil sebagai puncak dari keperibadian islami dibentuk dengan menegakan tiga pilar utama pada individu secara simultan: ideologi, sistem nilai, atau keyakinan (aqidah, iman); praktek (ritual, akhlak dan perilaku islami); dan pensucian diri (ikhsan, spirituality). Karena itu metoda pembelajaran pun harus merupakan sebuah pendisiplinan mental, badan, dan jiwa (discipline of body, mind and soul). Di sini pembelajar mesti diekspose kepada berbagai stimulus eksternal yang membangkitkan dorongan-dorongan endogen (iradah, drive and motivation) untuk meraih berbagai pengetahuan yang benar, termasuk pengetahuan tentang hakekat segala sesuatu (ma-rifat), membentuk sikap mental yang unggul (al-akhlak al-karimah), menghaluskan jiwa (tazkiyatun nafsun), memperkuat fisik dan memperindah penampilan. Tugas guru atau intrukstur adalah menciptakan berbagai stimulus eksternal yang efektif, termasuk membangun lingkungan yang kondusif bagi proses pendisiplinan di atas.

Pada dasarnya al-Quran sudah memberikan beberapa landasan penting untuk pengembangan metoda pembelajaran yang relevan. Begitu pula praktek Rasullulah Muhammad saw dalam membentuk umat Islam generasi pertama memberikan banyak pelajaran berharga yang mesti dirujuk. Pada sisi lain, berbagai metoda pembelajaran lain yang berkembang dewasa ini, tapi tentu dikaji dengan sikap kritis, bisa digunakan pula secara selektif. Karena itu perlu ada kombinasi atau integrasi berbagai metoda pembelajaran ini, sehingga tercipta efek atau hasil yang optimal bagi pembentukan insan kamil yang menjadi tujuan akhirnya.
Dalam hubungan tersebut beberapa metoda pembelajaran relevan untuk dikedepankan. Yakni imitasi, trial and error, pengkondisian, dan refleksi. Masing-masing adalah representasi dari metoda yang tergolong ke dalam pembelajaran sosial (social learning), pembelajaran dari pengalaman hidup (experiential learning), pembelajaran berdasarkan stimulus yang dikondisikan (operant conditional learning), dan pembelajaran reflektif (reflective thinking). 


Imitasi dan Pemodelan

Meniru orang lain sangat alami dalam kehidupan manusia. Peniruan ini mencakup bukan saja cara berperilaku, tapi juga sikap, pikiran, dan keyakinan. Secara psikologis, peniruan sosial adalah fungsi dari kekuatan dan integritas  peniru (self-eficacy) dan  kekuatan pesona dari yang ditiru sendiri. Karena itu, pada usia dini, di mana self-eficacy, relatif rendah, intensitas meniru orang lain relatif tinggi. Intensitas peniruan ini menurun sejalan dengan pertambahan usia. Berdasarkan kecenderungan ini, maka penanaman akhlak atau adab islami melalui contoh dan keteladanan orang lain sangat penting dilakukan di usia dini. Pada usia lanjut perubahan bukan tidak mungkin. Karena misalnya, para sahabat di generasi pertama umat muslim, mereka mampu meninggalkan adab-adab kegelapan (jahiliyah) seperti minum alkohol, penyembahan berhala, dan berbagai kebiasaan buruk lain, hanya setelah mengenal kebenaran Islam. Jadi, faktor yang jadi penentu perubahan itu adalah pengetahuan tentang kebenaran yang mereka dapatkan dari al-Quran serta peri kehidupan pemimpin mereka sendiri, Rasulullah Muhammad saw, dan pengaruh yang kuat dari lingkungan komunitas muslim yang dibangun secara berjamaah dengan konsisten, selain tentu saja kehendak yang kuat untuk berubah (will power) dari dalam diri para shabat sendiri. Faktor kunci ini bisa jadi pelajaran penting untuk membangun ruang pembelajaran yang efektif.

Fakta bahwa belajar dilakukan dengan cara meniru orang lain memberi arti penting pada peran  figur, tokoh, pemimpin, atau rujukan lain. Mereka ini mesti memiliki kekuatan karakter, akhlak, atau perilaku yang bisa menjadi suri teladan orang lain. Tanpa ini semua, mereka tidak layak menjadi pendidik (murabbi) dalam arti yang sesungguhnya. Karakter, akhlak, perilaku terpuji adalah stimulus pembelajaran yang paling mudah dilihat, dimengerti, dan diingat oleh pembelajar. Kesan-kesannya yang tertanam dalam jiwa juga sangat kuat. Karena hidupnya secara nyata ideal-ideal kehidupan yang hendak ditanamkan. Rasulullah sendiri berhasil membangun generasi pertama kaum Muslimin yang kuat berkat ideal-ideal al-Quran yang berhasil dihidupkan di dalam akhlaknya. 
Kekuatan karakter seorang pendidik sangat penting dalam mempengaruhi perubahan aspek afektif dan perilaku. Dalam pandangan Islam karakter (akhlaq) adalah perhiasan, yang membangun pesona menarik seperti magnet, sehingga timbul kesukaan dan kecintaan serta identifikasi yang kuat dari seseorang, dan proses-proses lain yang emosional sifatnya, yang mendorong peniruan secara natural. Menyatu atau menjadi serupa dengan yang dicintai atau yang disukai adalah akibat terpenting dari pesona ini. Karena itu, pendidikan yang berorientasi membangun watak dan karakter, seperti dalam perspektif Islam, mutlak mensyaratkan pendidik dengan karakter yang luhur.

(bagian dari tulisan: Sanerya Hendrawan,  "Pembelajaran dalam Perspektif Membangun Kepribadian Islami...)

Tuesday, September 13, 2011

PEMBELAJARAN SUFISTIK (SUFISTIC LEARNING)

Sanerya Hendrawan


Dari perspektif sufistik, pembelajaran adalah proses perubahan menuju insan sejati (al-insan al-kamil). Prosesnya berlangsung secara sirkuler yang terus menerus melalui: (1) pengondisian diri, pengikatan diri, serta penetapan hati untuk berperilaku lahir batin yang sejalan dengan perintah dan larangan Allah (musyaratah), (2) pengawasan diri dengan memusatkan perhatian kepada pikiran, perasaan, ataupun perbuatan yang senantiasa konsisten dengan perintah dan larangan Allah (muraqabah), (3) penghitungan dan penilaian diri, semacam introspeksi dan refleksi atas keberhasilan ataupun kegagalan untuk konsisten dengan perintah dan larangan Allah (muhasabah), (4) mengingat Allah secara terus menerus, terutama atas Kesucian, Kasih Sayang, Keesaan, dan Kebesaran-Nya (tadzakkur).
Pembelajaran sufistik berlangsung ke dalam diri (inner) melalui berbagai stasiun (maqam) yang bersifat redikal, generatif, intuitif, transformatif. Sampai akhirnya ditemukan kembali Self yang abadi (fitrah). Kemudian keluar, dan terlahir kembali dengan keperibadian baru sebagai pemimpin di bumi (khalifatul ard) dan sekaligus hamba Allah (abdullah); yang membawa misi dan nilai-nilai hidup baru khas; yang berkomitmen membentuk masyarakat di atas tatanan nilai-nilai keilahian (Islam) yang membawa rahmat bagi semesta alam (rahmatan lilalamiin).


Dalam pembelajaran sufistik, unsur-unsur pensucian diri (purification), disiplin diri yang ketat untuk mengendalikan naluri animalistik, sementara pada sisi lain mengembangkan pengalaman-pengalaman puncak (peak experiences) seperti rasa sukur kepada Tuhan dan keikhlasan menerima segala ketentuannya (takdir). Kemudian juga sikap asketik (zuhud), yakni dengan menjauhkan diri dari mengejar keinginan dan kenikmatan yang destruktif. Semua ini berperan penting dalam meraih pengetahuan yang benar (al-Haq), pengetahuan yang melahirkan kesadaran tentang Keesaan Allah (tauhid), menumbuhkan sikap dan perilaku yang menyerahkan diri kepada Kehendak Allah (Islam). Pengetahuan semacam ini sangat khusus sifatnya, karena ia adalah "cahaya yang dimasukan ke dalam hati orang-orang yang dikehendaki-Nya" (flash of intuition, , unveiling, kashf).


Berbeda dari moda pembelajaran lain yang sekuler yang berpusat banyak (takhtir / multicenter) seperti yang berlandaskan ajaran modernitas dan post medernitas, pembelajaran sufistik sebagai bagian dari tradisi islam cenderung ke arah Unity, harmony, integration, synthesis, dengan satu pusat, single center (tauhid), di mana segala sesuatu diatur oleh prinsip yang sama, karena semuanya berasal dari realitas yang sama (Allah). Di sini pikiran terfokus kepada yang nyata (real), dan tidak ada yang the true real selain Allah, the Real (al-Haqq). Seluruh kegiatan berpikir tertata dan tersusun yang dimulai dan diakhiri dengan Supreme Reality ini, yang tercermin dalam pernyataan “sesungguhnya kami milik Allah, dan kepada-Nya pulalah kami kembali” (inna lillahi wa inailaihi rojiun). Sehingga setiap momen pikiran dipertahankan dengan kesadaran tentang Supreme Reality. Melupakannya berarti terputus dan terjatuh ke dalam illusion dan unreality. Karena itu pula, pemahaman ataupun pengertian sesuatu sebagaimana apa adanya (true knowledge) hanya diperoleh ketika ada kesadaran tentang sesuatu itu dalam hubungannya dengan sang Pencipta (Allah), yang menjaga dan memelihara sesuatu itu setiap saat. 


Untuk sampai pada pemahaman semacam itu, pembelajaran sufistik menekankan pengembangan dan penghalusan kekuatan batin (inner, intelect, qulb) hingga tercapainya pengenalan diri (self, soul, nafs) sebagai pijakan untuk mengenal Allah. Karena itu di sini berlaku aksioma lama “Know thyself”, yang dalam tradisi Islam terumuskan “man ‘arafa nafsahu fa qad ‘arafa Rabbahu”, Dia yang mengenal dirinya, mengenal Tuhannya. Sejatinya, tercapainya pengenalan diri berarti pula terbentuknya apa yang disebut aql bi’l-fi’l. Yakni intelek aktual, yang tidak lain adalah jiwa yang telah menyempurnakan dan menyatukan kekuatan teoritis dan praktis (theoretical and practical intelect), pengetahuan tinggi dan kebaikan  (vision and virtue), teori dan kiprah praktis  (theory and praxis). 


Karena itu kemudian Cahaya dari sumber segala cahaya (Allah) terlimpahkan pada berbagai gradasi terhadap kesadaran (awareness, consciousness), kehidupan (life), pemahaman dan pengertian (understanding). Di sini ilmu  pengetahuan tentang dunia inderawi (alam al-sahadah) yang empiris dan eksternal tidak terpisahkan dari ilmu pengetahuan tentang dunia gaib yang internal dan spiritual (alam al-ghaib). Dalam pembelajaran sufistik studi alam nyata dan pengetahuan yang dihasilkannya menyiapkan dasar bagi penyempurnaan manusia. Dan kesempurnaan hanya bisa dicapai dengan ‘kembali kepada Tuhan’, al ma’ad, membawa kembali diri (self) ke dalam harmoni dengan tabiat yang sebenarnya dari segala sesuatu (Tuhan). Karena itu mereka para filsuf dan sufi besar Islam dalam pembelajarannya berusaha untuk menjadi what it is possible for human beings to become, yang dengan mengutip istilah dari Ibnu Arabi  disebut insan kamil, manusia paripurna; manusia yang berakhlak dengan akhlak Allah (al-asma al-husna), takhalluq bi akhlaq Allah.  

Tuesday, July 26, 2011

PEMBELAJARAN REAKTIF DAN GENERATIF

Sanerya Hendrawan


Kedua moda pembelajaran ini berlangsung pada setiap orang dengan berbagai tingkat dan besaran yang berbeda-beda. Keduanya memang dibutuhkan untuk berlangsungnya kehidupan secara efektif, baik ditingkat individual maupun kolektif. Pembelajaran ini terbentuk dari interaksi antara berpikir (thinking) dan bertindak (acting). Dimulai dengan melakukan sesuatu tindakan (doing). Kemudian didapat hasil-hasil. Direfleksikan di dalam diri tingkat capaian hasil ini. Maka jika kemudian diketemukan prinsip-prinsip dari keberhasilan atau kegagalan ini, yang dengannya terbentuk tindakan atau perbuatan baru, terjadilah pembelajaran. Karena itu Kolb merinci lebih lanjut proses pembelajaran ini ke dalam sebuah siklus: do-act-observe-generalize-act (new). Pembelajaran karena itu melibatkan perbuatan, perasaan, pengamatan, dan pemikiran.


Dalam kontek reactive learning atau bisa disebut juga surface learning, tindakan adalah produk dari berpikir yang sudah mapan. Reaksi-reaksi merupakan unduhan dari kebiasan mental yang solid. Jadi tindakan bersifat repitisi, dengan pola-pola yang relatif teramalkan. Reactive learning identik dengan single-loop learning dari Schon. Yakni pembelajaran yang mengikuti aturan-aturan yang mapan yang tersurat dalam bentuk strategi, kebijakan, dan prosedur (following rules). Sehingga prosesnya berlangsung melalui deteksi dan koreksi penyimpangan-penyimpangan dari aturan tersebut. Dalam proses ini tidak ada pertanyaan atau gugatan atas aturannya sendiri (rules). Sehingga bisa dikatakan, pembelajaran berlangsung dalam konteks aturan yang telah ditentukan terlebih dulu.


Dalam kontek generative / deep learning. Belajar dan berubah merupakan dua hal yang menjatu. Untuk terjadinya pembelajaran, mesti ada perubahan. Sementara dalam perubahan itu terjadi pembelajaran. Setiap orang ataupun institusi karena itu harus menguasai proses perubahan dan pembelajaran ini. Pada level kelembagaan, penguasaan atas kedua hal ini melahirkan apa yang disebut “learning organization”. Yakni organisasi di mana:
1.    orang-orang di dalamnya secara terus menerus memperluas kapasitas menciptakan  hasil-hasil yang mereka inginkan,
2.     di mana pola-pola pikir baru yang ekspansif dipupuk untuk tumbuh,
3.     di mana dalam organisasi tersebut aspirasi kolektif bebas tumbuh dan berkembang,
4.     di mana semua orang belajar terus menerus bagaimana belajar secara bersama

Menurut Senge, deep learning diaktivasikan oleh lima disiplin. Pertama adalah pengendalian pribadi (personal mastery). Kedua adalah pola pikir dan sikap (mental model). Ketiga, pandangan bersama tentang masa depan (shared vision). Keempat, berpikir kesisteman (system thinking). Kelima, pembelajaran kelompok (team learning). Kelima disiplin ini, jika diterapkan secara konsisten, menghasilkan pemahaman tentang realitas yang lebih holistik, pada satu sisi. Dan sikap yang ingin melayani keseluruhan, yang mengatasi ego pribadi, dengan kata lain lebih altruistik, pada sisi lain. Jadi, berbeda dari yang pertama, pembelajaran generatif mampu menghasilkan transformasi pola pikir dan sikap serta perilaku yang lebih mendasar.

Kedua moda pembelajaran tersebut memiliki relevansinya masing-masing dalam kerangka pembentuan keperibadian islami atau insan kamil. Pembelajaran reaktif relevan manakala keyakinan dan nilai-nilai absolut keagamaan baik mencakup aqidah, muamalah, akhlaq menjadi ukuran ataupun kriteria pembelajaran (perubahan). Pada moda ini, perubahan terjadi secara konstan, tetapi terbatas di lapisan kulit atau permukaan. Sementara keyakinan dan nilai inti, yang berfungsi sebagai substansi, tetap terpelihara. Tradisi adalah produk dari pembelajaran reaktif ini. Lain halnya pembelajarn generatif. Pembelajaran ini diperlukan untuk membangun tradisi-tradisi baru yang merupakan inovasi personal, sosial maupun kelembagaan untuk menjawab berbagai tantangan jaman yang terus berkembang. Karena itu dituntut untuk mengkaji ulang nilai-nilai yang menjadi ukuran perubahan. Dalam tradisi Islam, ijtihad dalam berbagai urusan muamalah (seperti ekonomi, sosial, dan politik) adalah contoh nyata dari moda pembelajaran generatif ini.