Sanerya Hendrawan
Pengembangan human capital dalam sebuah organisasi islami dilakukan dengan
merujuk kepada kebutuhan strategis jangka panjang organisasi yang
holistik, yakni dalam konstelasi kebutuhan umat untuk membangun
kembali Peradaban Islami.
Organisasi adalah salah satu pilar Peradaban Islam yang menjadi wadah
berskala mikro bagi pencetakan dan penggodokan (training ground
and melting pot) kader-kader kreatif pembangun dan penjaga
peradaban. Kader-kader kreatif ini bekerja dalam kerangka misi
organisasi tadi untuk menghasilkan barang dan jasa, yang diharapkan
membawa dampak pada kemakmuran dan kesejahteraan konsumen sehingga
meningkatkan kekuatan dan martabat mereka sebagai umat di tengah
persaingan (fastabikul khoirot) yang
berskala global. Mereka para kader kreatif ini mendapatkan
'kepuasan spiritual' dari bekerja ikhlas yang dilakukan secara
ihsan dan itqan
untuk tujuan meraih ridho Ilahi di dalam barisan jemaah
islami yang kuat. Sehingga dengan
upaya mereka ini, organisasi bisa eksis, tumbuh dan berkembang secara
berkelanjutan (sustanaible),
menjadi instrumen yang tangguh bagi perjuangan umat dalam meninggikan
Islam sebagai kekuatan peradaban global.
Karena
itu sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, pengembangan insan
organisasi bersifat holistik dalam perspektif islam. Mencakup
intelektualitas, emosionalitas, dan spiritualitas; yang semua ini
sesungguhnya menjadi mata air (al-bathin) perilaku produktif
dan konstruktif di dalam organisasi dan masyarakat (az-zhahir).
Perspektif Barat baru belakangan ini memahami human resource
development (HRD) sebagai “human development” (HD) yang
memerlukan juga perkembangan spiritual di tempat kerja, termasuk
pengakuan pada eksistensi Tuhan sebagai bagian penting dari
spiritualitas ini dan agama sebagai pengungkapannyaii.
Sehingga peningkatan pengetahuan dan keterampilan vokational, yang
umumnya hanya terkait dengan pekerjaan, dirasakan tidak lagi memadai.
Dibutuhkan edukasi holistik (holistic education) bagi pegawai
yang menyentuh pembentukan keperibadian yang lebih integral atau utuh
(well-rounded personality), termasuk kearifan (wisdom)iii.
Jauh
sebelum perkembangan ini, seorang tokoh Peradaban Barat pernah
mengatakan, setiap peningkatan pengetahuan dan ketarampilan manusia
mesti diikuti secara simultan dengan peningkatan kearifan (wisdom),
karena yang pertama bisa meningkatkan kapasitas manusia untuk
berbuat jahativ.
Dalam pengertian lebih spesifik ini bisa dikatakan memberi peran
kepada agama dan spritualitas sebagai bagian dari pengembangan
manusiav,
sehingga menyentuh bukan saja pengembangan pikiran (mind
development), tetapi juga pengembangan moralitasvi,
selain juga kapabilitas manusia harus dibaktikan pada kebaikan
masyarakatvii.
Semua perkembangan ini menunjukan pengakuan dalam wacana pengembangan
sumberdaya manusia (HRD) pada dimensi yang lebih luas. Tentu
dengan penerimaan segala tujuan yang lebih normatif yang
menyertainya; seperti nilai-nilai kebaikan (goodness) kejujuran
(honesty), dan integritas (integrity).
Jelas,
dalam perspektif Islam semua itu tidak lain adalah edukasi al-akhlak
al-karimah. Sejalan dengan
etimologi kata akhlaq
dari “khuluq” yang
berarti ciptaan, dan ini berarti punya asal yang sama dengan khaliq
yang berarti pencipta (Allah).
Maka semakin jelas bahwa pembentukan al-akhlaq al-karimah
ini relevan dalam rangka menyiapkan organisasi sebagai pilar
peradaban islam. Karena pertama, pembentukan akhlaq islami berarti
menyiapkan insan yang akan sanggup berperilaku dengan tata aturan
yang tinggi dalam berinteraksi dengan dirinya sendiri (self),
orang lain (others),
lingkungan dan semesta (environment or universe), dan
Tuhan (Allah). Dikatakan
tinggi karena bercirikan kebajikan yang mutlak, kebaikan yang
menyuluruh, tetap dan mantap (tidak terpengaruh zaman), menjadi
motivator perilaku. Kedua, pembentukan al-akhlaq al-karimah
berarti memadukan kehendak Ilahi sebagai pencipta dengan perilaku
manusia sebagai ciptaan-Nya. Dan ini berarti penyerahan diri atau
penghambaan total manusia kepada-Nya (ibadah).
Pembentukan ini berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, penguatan
kondisi primordial manusia (fitrah). Tahap
kedua, pembentukan kebiasaan baik (adab) secara
konsisten. Dan fase ketiga, praktek dan usaha yang sadar untuk
mencenderungkan diri pada sesuatu kebiasaan yang baik. Setiap
perilaku manusia mengandung nilai akhlak manakala sesuai dengan
tuntutan ilahi (al-quran dan
as-sunnah). Karena itu pula,
pusat akhlaq adalah iman dan takwa (IMTAK). Sehingga itu pula
pengembangan al-akhlak al karimah
sebagai dimensi human development termasuk
bagian yang tak terpisahkan dari pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK).