Tuesday, September 13, 2011

PEMBELAJARAN SUFISTIK (SUFISTIC LEARNING)

Sanerya Hendrawan


Dari perspektif sufistik, pembelajaran adalah proses perubahan menuju insan sejati (al-insan al-kamil). Prosesnya berlangsung secara sirkuler yang terus menerus melalui: (1) pengondisian diri, pengikatan diri, serta penetapan hati untuk berperilaku lahir batin yang sejalan dengan perintah dan larangan Allah (musyaratah), (2) pengawasan diri dengan memusatkan perhatian kepada pikiran, perasaan, ataupun perbuatan yang senantiasa konsisten dengan perintah dan larangan Allah (muraqabah), (3) penghitungan dan penilaian diri, semacam introspeksi dan refleksi atas keberhasilan ataupun kegagalan untuk konsisten dengan perintah dan larangan Allah (muhasabah), (4) mengingat Allah secara terus menerus, terutama atas Kesucian, Kasih Sayang, Keesaan, dan Kebesaran-Nya (tadzakkur).
Pembelajaran sufistik berlangsung ke dalam diri (inner) melalui berbagai stasiun (maqam) yang bersifat redikal, generatif, intuitif, transformatif. Sampai akhirnya ditemukan kembali Self yang abadi (fitrah). Kemudian keluar, dan terlahir kembali dengan keperibadian baru sebagai pemimpin di bumi (khalifatul ard) dan sekaligus hamba Allah (abdullah); yang membawa misi dan nilai-nilai hidup baru khas; yang berkomitmen membentuk masyarakat di atas tatanan nilai-nilai keilahian (Islam) yang membawa rahmat bagi semesta alam (rahmatan lilalamiin).


Dalam pembelajaran sufistik, unsur-unsur pensucian diri (purification), disiplin diri yang ketat untuk mengendalikan naluri animalistik, sementara pada sisi lain mengembangkan pengalaman-pengalaman puncak (peak experiences) seperti rasa sukur kepada Tuhan dan keikhlasan menerima segala ketentuannya (takdir). Kemudian juga sikap asketik (zuhud), yakni dengan menjauhkan diri dari mengejar keinginan dan kenikmatan yang destruktif. Semua ini berperan penting dalam meraih pengetahuan yang benar (al-Haq), pengetahuan yang melahirkan kesadaran tentang Keesaan Allah (tauhid), menumbuhkan sikap dan perilaku yang menyerahkan diri kepada Kehendak Allah (Islam). Pengetahuan semacam ini sangat khusus sifatnya, karena ia adalah "cahaya yang dimasukan ke dalam hati orang-orang yang dikehendaki-Nya" (flash of intuition, , unveiling, kashf).


Berbeda dari moda pembelajaran lain yang sekuler yang berpusat banyak (takhtir / multicenter) seperti yang berlandaskan ajaran modernitas dan post medernitas, pembelajaran sufistik sebagai bagian dari tradisi islam cenderung ke arah Unity, harmony, integration, synthesis, dengan satu pusat, single center (tauhid), di mana segala sesuatu diatur oleh prinsip yang sama, karena semuanya berasal dari realitas yang sama (Allah). Di sini pikiran terfokus kepada yang nyata (real), dan tidak ada yang the true real selain Allah, the Real (al-Haqq). Seluruh kegiatan berpikir tertata dan tersusun yang dimulai dan diakhiri dengan Supreme Reality ini, yang tercermin dalam pernyataan “sesungguhnya kami milik Allah, dan kepada-Nya pulalah kami kembali” (inna lillahi wa inailaihi rojiun). Sehingga setiap momen pikiran dipertahankan dengan kesadaran tentang Supreme Reality. Melupakannya berarti terputus dan terjatuh ke dalam illusion dan unreality. Karena itu pula, pemahaman ataupun pengertian sesuatu sebagaimana apa adanya (true knowledge) hanya diperoleh ketika ada kesadaran tentang sesuatu itu dalam hubungannya dengan sang Pencipta (Allah), yang menjaga dan memelihara sesuatu itu setiap saat. 


Untuk sampai pada pemahaman semacam itu, pembelajaran sufistik menekankan pengembangan dan penghalusan kekuatan batin (inner, intelect, qulb) hingga tercapainya pengenalan diri (self, soul, nafs) sebagai pijakan untuk mengenal Allah. Karena itu di sini berlaku aksioma lama “Know thyself”, yang dalam tradisi Islam terumuskan “man ‘arafa nafsahu fa qad ‘arafa Rabbahu”, Dia yang mengenal dirinya, mengenal Tuhannya. Sejatinya, tercapainya pengenalan diri berarti pula terbentuknya apa yang disebut aql bi’l-fi’l. Yakni intelek aktual, yang tidak lain adalah jiwa yang telah menyempurnakan dan menyatukan kekuatan teoritis dan praktis (theoretical and practical intelect), pengetahuan tinggi dan kebaikan  (vision and virtue), teori dan kiprah praktis  (theory and praxis). 


Karena itu kemudian Cahaya dari sumber segala cahaya (Allah) terlimpahkan pada berbagai gradasi terhadap kesadaran (awareness, consciousness), kehidupan (life), pemahaman dan pengertian (understanding). Di sini ilmu  pengetahuan tentang dunia inderawi (alam al-sahadah) yang empiris dan eksternal tidak terpisahkan dari ilmu pengetahuan tentang dunia gaib yang internal dan spiritual (alam al-ghaib). Dalam pembelajaran sufistik studi alam nyata dan pengetahuan yang dihasilkannya menyiapkan dasar bagi penyempurnaan manusia. Dan kesempurnaan hanya bisa dicapai dengan ‘kembali kepada Tuhan’, al ma’ad, membawa kembali diri (self) ke dalam harmoni dengan tabiat yang sebenarnya dari segala sesuatu (Tuhan). Karena itu mereka para filsuf dan sufi besar Islam dalam pembelajarannya berusaha untuk menjadi what it is possible for human beings to become, yang dengan mengutip istilah dari Ibnu Arabi  disebut insan kamil, manusia paripurna; manusia yang berakhlak dengan akhlak Allah (al-asma al-husna), takhalluq bi akhlaq Allah.  

Tuesday, July 26, 2011

PEMBELAJARAN REAKTIF DAN GENERATIF

Sanerya Hendrawan


Kedua moda pembelajaran ini berlangsung pada setiap orang dengan berbagai tingkat dan besaran yang berbeda-beda. Keduanya memang dibutuhkan untuk berlangsungnya kehidupan secara efektif, baik ditingkat individual maupun kolektif. Pembelajaran ini terbentuk dari interaksi antara berpikir (thinking) dan bertindak (acting). Dimulai dengan melakukan sesuatu tindakan (doing). Kemudian didapat hasil-hasil. Direfleksikan di dalam diri tingkat capaian hasil ini. Maka jika kemudian diketemukan prinsip-prinsip dari keberhasilan atau kegagalan ini, yang dengannya terbentuk tindakan atau perbuatan baru, terjadilah pembelajaran. Karena itu Kolb merinci lebih lanjut proses pembelajaran ini ke dalam sebuah siklus: do-act-observe-generalize-act (new). Pembelajaran karena itu melibatkan perbuatan, perasaan, pengamatan, dan pemikiran.


Dalam kontek reactive learning atau bisa disebut juga surface learning, tindakan adalah produk dari berpikir yang sudah mapan. Reaksi-reaksi merupakan unduhan dari kebiasan mental yang solid. Jadi tindakan bersifat repitisi, dengan pola-pola yang relatif teramalkan. Reactive learning identik dengan single-loop learning dari Schon. Yakni pembelajaran yang mengikuti aturan-aturan yang mapan yang tersurat dalam bentuk strategi, kebijakan, dan prosedur (following rules). Sehingga prosesnya berlangsung melalui deteksi dan koreksi penyimpangan-penyimpangan dari aturan tersebut. Dalam proses ini tidak ada pertanyaan atau gugatan atas aturannya sendiri (rules). Sehingga bisa dikatakan, pembelajaran berlangsung dalam konteks aturan yang telah ditentukan terlebih dulu.


Dalam kontek generative / deep learning. Belajar dan berubah merupakan dua hal yang menjatu. Untuk terjadinya pembelajaran, mesti ada perubahan. Sementara dalam perubahan itu terjadi pembelajaran. Setiap orang ataupun institusi karena itu harus menguasai proses perubahan dan pembelajaran ini. Pada level kelembagaan, penguasaan atas kedua hal ini melahirkan apa yang disebut “learning organization”. Yakni organisasi di mana:
1.    orang-orang di dalamnya secara terus menerus memperluas kapasitas menciptakan  hasil-hasil yang mereka inginkan,
2.     di mana pola-pola pikir baru yang ekspansif dipupuk untuk tumbuh,
3.     di mana dalam organisasi tersebut aspirasi kolektif bebas tumbuh dan berkembang,
4.     di mana semua orang belajar terus menerus bagaimana belajar secara bersama

Menurut Senge, deep learning diaktivasikan oleh lima disiplin. Pertama adalah pengendalian pribadi (personal mastery). Kedua adalah pola pikir dan sikap (mental model). Ketiga, pandangan bersama tentang masa depan (shared vision). Keempat, berpikir kesisteman (system thinking). Kelima, pembelajaran kelompok (team learning). Kelima disiplin ini, jika diterapkan secara konsisten, menghasilkan pemahaman tentang realitas yang lebih holistik, pada satu sisi. Dan sikap yang ingin melayani keseluruhan, yang mengatasi ego pribadi, dengan kata lain lebih altruistik, pada sisi lain. Jadi, berbeda dari yang pertama, pembelajaran generatif mampu menghasilkan transformasi pola pikir dan sikap serta perilaku yang lebih mendasar.

Kedua moda pembelajaran tersebut memiliki relevansinya masing-masing dalam kerangka pembentuan keperibadian islami atau insan kamil. Pembelajaran reaktif relevan manakala keyakinan dan nilai-nilai absolut keagamaan baik mencakup aqidah, muamalah, akhlaq menjadi ukuran ataupun kriteria pembelajaran (perubahan). Pada moda ini, perubahan terjadi secara konstan, tetapi terbatas di lapisan kulit atau permukaan. Sementara keyakinan dan nilai inti, yang berfungsi sebagai substansi, tetap terpelihara. Tradisi adalah produk dari pembelajaran reaktif ini. Lain halnya pembelajarn generatif. Pembelajaran ini diperlukan untuk membangun tradisi-tradisi baru yang merupakan inovasi personal, sosial maupun kelembagaan untuk menjawab berbagai tantangan jaman yang terus berkembang. Karena itu dituntut untuk mengkaji ulang nilai-nilai yang menjadi ukuran perubahan. Dalam tradisi Islam, ijtihad dalam berbagai urusan muamalah (seperti ekonomi, sosial, dan politik) adalah contoh nyata dari moda pembelajaran generatif ini. 

Thursday, July 21, 2011

MODA PEMBELAJARAN

Sanerya Hendrawan

Pembelajaran yang berorientasi pada pembentukan insan kamil, sebagai konsep yang solid untuk keperibadian islami, membutuhkan sentuhan pendidikan pada semua aspek kemanusiaan secara integratif. Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya, ini meliputi perubahan jasmani (materi) dan perubahan ruhani (spiritual) secara simultan. Di dalamnya juga mencakup perubahan kesadaran, keyakinan, pikiran, perasaan dan emosi, serta perilaku secara konsisten. Jadi, untuk keberhasilan pembelajaran ini dibutuhkan berbagai moda pembelajaran yang relevan.

Secara sederhana moda pembelajaran ini melibatkan dua proses dimensional. Pertama adalah perjalanan ke dalam diri (Self), inner journey. Sebuah proses pengenalan diri untuk menemukan siapa dirinya, darimana asalnya, dan hendak kemana hidupnya. Ini adalah sebuah perjalanan untuk menggambarkan kalimat yang dikemukakan Ali bin Abi Thalib: “man arafa nafsahu, arafa rabahu”, barangsiapa mengenal dirinya, maka mengenal Tuhan-Nya”. Perjalanan ke dalam diri bisa digambarkan sebagai proses (1) deepening, Pendalaman dan penyelaman hingga sampai kedalam ke-diri-an manusia yang sejati, Diri yang noumenon, diri asli (fitrah), the True Self ; dan (2) broadening, perluasan atau pelebaran lingkup dan rentang kesadaran, dari sekedar kesadaraan diri, lalu kesadaran kosmos, hingga sampai puncaknya pada kesadaran tauhid. Di lihat dari maksudnya, perjalan ke dalam diri adalah perjalanan menemukan alasan keberadaan, reasons to existence.
Kemudian kedua, perjalanan keluar diri, outer journey. Ini adalah perjalanan untuk meningkatkan nilai atau derajat kualitas kemanusiaan kita dalam kehidupan di dunia melalui berbagai garapan proyek sosial yang meningkatkan kualitas hidup bersama (enhancing) dan memperlebar atau memperluas kontribusi kepada sesama makhluk ciptaan Tuhan (expanding). Ini sejalan dengan konsep al-Quran tentang pengutusan Rasulullah Muhammad saw: “wa ma arsanaka illa rahmatan lil alamiin”, dan sesungguhnya Aku mengutusmu, kecuai untuk rahmat bagi semesta.


Dengan mengutip bahasa hadist nabi, kedua perjalanan dimensional tadi tidak lain adalah perjalanan untuk membangun hubungan atau ikatan yang kuat dengan Tuhan, hablum minallah, dan membangun hubungan dan ikatan yang kuat pula dengan manusia, hablum minna nas. Kedua dimensi ini merupakan syarat bagi suksesnya kehidupan manusia, di dunia ini maupun nanti di akhirat. Jadi, jika digambarkan dalam sebuah bagan, perjalanan inner dan outer tadi akan tampak seperti pada bagan di bawah.

Untuk terjadinya perubahan secara efektif pada kedua dimensi tadi, maka dibutuhkan berbagai moda pembelajaran yang sesuai. Ini bisa dilakukan dengan mengkombinasikan berbagai moda yang tersedia sedemikian rupa, sehingga diperoleh efek pembelajaran yang sinergis dan integratif atau holistik serta transformatif terhadap keperibadian individu. Kita akan membahas berbagai moda pembelajaran ini pada artikel selanjutnya.

Tuesday, February 15, 2011

ILMU (SCIENCE), PRAKTEK ( PRACTICES), DAN KEARIFAN (WISDOM)

Sanerya Hendrawan


Ilmu punya makna yang lebih kaya dalam perspektif Islam, jika dibandingkan dengan science dalam perspektif Barat. Ilmu berasal dari istilah Arab, ‘ilm, memiliki makna cakupan teori, aksi atau tindakan, dan pendidikan. Substansi ‘ilm bukan sekedar pengetahuan, tetapi juga gnosis (ma’rifah); yakni pemahaman tentang kebenaran terakhir, ultimate truth, yang dalam bahasa Arab disebut al-haqq. Allah adalah al-Haqq. Dari sini bisa dimengerti, dalam perspektif Islam tidak ada pemisahan antara ilmu pengetahuan tentang dunia gaib yang internal (alam al-ghaib, noumenal) seperti Tuhan (theology) dan ilmu-ilmu tentang dunia fenomenal seperti ilmu alam atau ilmu sosial (alam as-sahadah) yang empiris dam eksternal. Ilmu diperoleh lewat kerja intelek atau akal (‘aql). Karena terkait dengan kebenaran terakhir ini, al-Haqq, maka ilmu (knowledge) bukan sekedar informasi, tetapi juga membawa konsekwensi moral dan etis. Yakni menuntut pemilik ilmu untuk bertindak sesuai dengan kebenaran yang telah diyakininya. Secara spesifik ini diterjemahkan ke dalam komitmen pada aturan-aturan Islam dalam al-Quran dan as-Sunnah, yang keduanya ini merupakan perwujudan dari kehendak al-Haqq tadi. 


Terkait dengan keyakinan ini dikenal tiga tingkatan: ‘ilm al-yaqin (certain knowledge, pengetahuan yang pasti), ‘ayn al-yaqin (knowledge by sight – pengetahuan dengan mata kepala sendiri), dan haqq al-yaqin (knowledge by the unity of subject and object, pengetahuan dengan merasakan langsung). Untuk membedakan derajat tingkat yang ketiga dari yang kedua dan pertama, analogi yang dipakai adalah pengetahuan tentang api (tingkat pertama), melihat api (tingkat kedua), dan merasakan atau terbakar oleh api (tingkat ketiga). Dari analogi ini terasa sekali perbedaan masing-masing tingkat pengetahuan tadi.


Dalam pengertian umum al-‘ilm juga sinonim dengan an-nuur, cahaya (light). Dalam ayat-ayat al-Quran, Allah (Tuhan) disebut juga an-nuur. Allah adalah sumber cahaya pertama, dari-Nya terlimpahkan cahaya kepada langit dan bumi dengan segenap ciptaan-Nya. Dari sini kemudian dikatakan bahwa ilmu, atau penemuan ilmiah, adalah Cahaya yang Allah limpahkan kepada hati atau jiwa hamba-hamba yang dikehendakinya (flash of intuition, kashf, unveiling).  Untuk bisa mendapatkan cahaya Ilahi ini (an-nuur atau al-ilm, al-ma’rifah), maka pencari ilmu mesti membersihkan berbagai penghalang pancaran cahaya ini. Karena semua penghalang ini lebih merupakan penyakit hati (kufr, fasiq), maka diperlukan pensucian diri yang disebut tazkiyatun nafs. Dengan demikian dalam upaya memperoleh ilmu ini, ma-rifah atau gnosis, maka pengamatan (observation), proses analisis, dan penyimpulan (scientific method) berlangsung simultan dengan pensucian diri (shalat, puasa, meditasi sufistik). Metoda yang terakhir ini melahirkan knowledge by intuition. Pengetahuan di mana makna-makna datang sendiri ke dalam jiwa (a flash of intuition, kashf, al-ilm al-husuli)). Sedangkan metoda ilmiah melahirkan knowledge by observation. Jiwa yang datang kepada makna-makna tertentu (al-ilm al-huduri). Kesimpulannya, al-ilm (knowledge) menjadi integral dalam perspektif islam, memadukan rasionalitas (pikiran) dan intuisi (hati).


Dalam perspektif Islam, seluruh pengetahuan adalah proses untuk sampai pada pengenalan diri (self, nafs, soul) melalui pengembangan dan penghalusan kekuatan inner-nya (intelect, qalb). Aksioma lama “Know  thyself” dirumuskan dalam sebuah pernyataan Ali bin Abi Thalib, “man ‘arafa nafsahu fa qad ‘arafa Rabbahu”, Dia yang mengenal dirinya (self), mengenal Tuhannya. Ini dicapai manakala, jiwa atau lebih tepatnya intelek aktual (aql bi’l-fi’l) (self) telah menyempurnakan kekuatan teoritis dan praktis (theoretical and practical intelect, vision and virtue, theory and praxis).


Ada dua kemungkinan terkait dengan posisi manusia terhadap ilmu pengetahuan ini. Pertama adalah mengikuti kebenaran atau pendapat orang lain (taqlid). Kedua adalah menemukan kebenaran sendiri (tahqiq). Posisi yang pertama, karena lebih bersifat meniru atau mengikuti otoritas tertentu, menghasil jenis pengetahuan knowledge by transmission. Yang kedua, karena dilukan melalui verifikasi dan realisasi, menghasilkan apa yang disebut knowledge by intelection. Karena setiap manusia memiliki kapasitas bawaan untuk berpikir dan merefleksi tentang Tuhan dan semua ciptaan-Nya, maka dalam perspektif Islam setiap orang mesti mengembangkan knowledge by intelection. Ini terlebih lagi dalam masalah keimanan. Keimanan tidak bisa dimaknai kepercayaan (belief). Tetapi lebih tepat sebagai keyakinan (conviction). Keyakinan punya makna ketiadaan keraguan atau ketidakpastian (doubt, uncertainty). Sebaliknya, kepercayaan mengandung makna keraguan, kebenaran yang harus diterima begitu saja, tanpa perlu pembuktian dan pengujian kritis akal pikiran. Karena itu kemudian, keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa (tauhid) lebih tepat dilihat sebagai knowledge by intelection. Artinya, sudah dibuktikan dan direalisasikan oleh diri sendiri (self) hingga kemudian seseorang sampai pada tingkat pengetahuan  haqq al-yaqin. 


Dalam hubungan ini bisa dipahami, jika kemudian dalam perspektif islam tahqiq (knowledge by intelection) tidak hanya berarti memahami kebenaran, ketepatan, kepantasan sesuatu, tetapi juga merespon kepada kebenaran tersebut secara benar dengan cara menenpatkan diri (self) pada tuntutan dari kebenaran tersebut atas jiwa (soul, nafs), baik itu dalam bentuk pikiran, perasaan, sikap, ataupun perilaku. Dengan demikian terlihat bahwa dalam persktif Islam, keyakinan (al-iman), ilmu (al-ilm), perbuatan, aktivitas, atau praksis (al-aml) menjadi satu kesatuan yang utuh, integral.


Visi yang integral semacam itu terlihat pula di dalam masalah eksplorasi dan pemahaman yang dihasilkannya. Intelektualitas islami menyatukan pemahaman  atas alam semesta (phisic, natural sciences, cosmology) dengan pemahaman atas jiwa, self (spiritual psychology). Keduanya saling melengkapi dan berhubungan. Hakekat yang sebenarnya tentang jiwa manusia (self) hanya akan bisa dipahami dengan mengenali secara benar alam semesta (cosmos). Karena alam semesta adalah fenomena penampakan Nama-Nama Tuhan (teofani), persis sebagaimana manusia tercipta dengan Citra Tuhan (imago dei). Manusia dan jiwanya adalah mikro kosmos sementara alam semesta makro kosmos. Yang satu tercerminkan pada yang lain.


Pentingnya hubungan antara alam semesta (cosmos) dan jiwa (self) tampak jelas dalam ungkapan al-mabda’ wa’l-ma’ad (The Origin and The Return), yang menjadi titel buku Ibnu Sina dan Mulla Sadra. Manusia berasal dari Tuhan, dan kembali kepada Tuhan (inna lillahi wa ina ilaihi rojiun). Kembali jiwa manusia kepada Tuhan secara sukarela (ascent, mi’raj) adalah kesempurnaan yang sejati. Ini membutuhkan pemahaman dan orientasi yang benar terhadap tabiat alam semesta. Menjadi jelas di sini, studi tentang alam nyata dan pengetahuan yang dihasilkannya menyiapkan dasar bagi penyempurnaan manusia. Dan kesempurnaan hanya bisa dicapai dengan ‘kembali kepada Tuhan’, al ma’ad, membawa kembali diri (self) ke dalam harmoni dengan tabiat yang sebenarnya dari segala sesuatu (Tuhan).


Karena itulah di dalam epistemologi Islam, seluruh kegiatan berpikir harus ditata dan disusun supaya dimulai dan diakhiri dengan Realitas Tertinggi atau Terahir ini, The Supreme Reality. Setiap momen pikiran harus dipertahankan dengan kesadaran tentang Supreme Reality. Melupakannya berarti terputus dan terjatuh ke dalam illusion dan unreality. Ini berarti pemahaman ataupun pengertian sesuatu sebagaimana apa adanya hanya diperoleh ketika ada kesadaran tentang sesuatu itu dalam hubungannya dengan sang Pencipta (Allah) yang menjaga dan memeliharanya setiap saat. Dengan kata lain pikiran yang benar adalah melihat segala sesuatu dalam hubungannya dengan Tuhan.
Dengan menempatkannya dalam kerangka perspektif semacam itu, maka pembelajaran (learning) menghasilkan perubahan yang mendalam pada jiwa (self) serta transformasi spiritual yang semakin selaras (harmony), menyatu secara menyeluruh (unity, integrated-holistic) dengan segala sesuatu (Tuhan). Harmoni dan unifikasi antara mengetahui (knowledge) dan mengada (being). Pembelajaran menjadi sebuah proses pencarian hikmah (wisdom), bukan sekedar perolehan ilmu pengetahuan (science). Di mana hikmah mengimplikasikan pikiran yang benar dan tindakan atau kegiatan yang benar, mencakup penyempurnaan intelektual dan penyempurnaan moral. Dengan kata lain, semua itu menghasilkan perubahan manusia yang dalam ungkapan para filsuf islam dan sufi seperti Ibu Sina (Avecina) dan Mulla Sadra dikatakan menjadi “what is possible for human beings to become”, atau meraih status al-insan al-kamil dalam tulisan al-Farabi, manusia sempurna yang merefleksikan Sifat-Sifat Allah, al-asma al-husna (imago dei), manusia seutuhnya, manusia yang berkarakter atau berakhlak Allah (takhalluq bi akhlaq Allah).