Tuesday, February 15, 2011

ILMU (SCIENCE), PRAKTEK ( PRACTICES), DAN KEARIFAN (WISDOM)

Sanerya Hendrawan


Ilmu punya makna yang lebih kaya dalam perspektif Islam, jika dibandingkan dengan science dalam perspektif Barat. Ilmu berasal dari istilah Arab, ‘ilm, memiliki makna cakupan teori, aksi atau tindakan, dan pendidikan. Substansi ‘ilm bukan sekedar pengetahuan, tetapi juga gnosis (ma’rifah); yakni pemahaman tentang kebenaran terakhir, ultimate truth, yang dalam bahasa Arab disebut al-haqq. Allah adalah al-Haqq. Dari sini bisa dimengerti, dalam perspektif Islam tidak ada pemisahan antara ilmu pengetahuan tentang dunia gaib yang internal (alam al-ghaib, noumenal) seperti Tuhan (theology) dan ilmu-ilmu tentang dunia fenomenal seperti ilmu alam atau ilmu sosial (alam as-sahadah) yang empiris dam eksternal. Ilmu diperoleh lewat kerja intelek atau akal (‘aql). Karena terkait dengan kebenaran terakhir ini, al-Haqq, maka ilmu (knowledge) bukan sekedar informasi, tetapi juga membawa konsekwensi moral dan etis. Yakni menuntut pemilik ilmu untuk bertindak sesuai dengan kebenaran yang telah diyakininya. Secara spesifik ini diterjemahkan ke dalam komitmen pada aturan-aturan Islam dalam al-Quran dan as-Sunnah, yang keduanya ini merupakan perwujudan dari kehendak al-Haqq tadi. 


Terkait dengan keyakinan ini dikenal tiga tingkatan: ‘ilm al-yaqin (certain knowledge, pengetahuan yang pasti), ‘ayn al-yaqin (knowledge by sight – pengetahuan dengan mata kepala sendiri), dan haqq al-yaqin (knowledge by the unity of subject and object, pengetahuan dengan merasakan langsung). Untuk membedakan derajat tingkat yang ketiga dari yang kedua dan pertama, analogi yang dipakai adalah pengetahuan tentang api (tingkat pertama), melihat api (tingkat kedua), dan merasakan atau terbakar oleh api (tingkat ketiga). Dari analogi ini terasa sekali perbedaan masing-masing tingkat pengetahuan tadi.


Dalam pengertian umum al-‘ilm juga sinonim dengan an-nuur, cahaya (light). Dalam ayat-ayat al-Quran, Allah (Tuhan) disebut juga an-nuur. Allah adalah sumber cahaya pertama, dari-Nya terlimpahkan cahaya kepada langit dan bumi dengan segenap ciptaan-Nya. Dari sini kemudian dikatakan bahwa ilmu, atau penemuan ilmiah, adalah Cahaya yang Allah limpahkan kepada hati atau jiwa hamba-hamba yang dikehendakinya (flash of intuition, kashf, unveiling).  Untuk bisa mendapatkan cahaya Ilahi ini (an-nuur atau al-ilm, al-ma’rifah), maka pencari ilmu mesti membersihkan berbagai penghalang pancaran cahaya ini. Karena semua penghalang ini lebih merupakan penyakit hati (kufr, fasiq), maka diperlukan pensucian diri yang disebut tazkiyatun nafs. Dengan demikian dalam upaya memperoleh ilmu ini, ma-rifah atau gnosis, maka pengamatan (observation), proses analisis, dan penyimpulan (scientific method) berlangsung simultan dengan pensucian diri (shalat, puasa, meditasi sufistik). Metoda yang terakhir ini melahirkan knowledge by intuition. Pengetahuan di mana makna-makna datang sendiri ke dalam jiwa (a flash of intuition, kashf, al-ilm al-husuli)). Sedangkan metoda ilmiah melahirkan knowledge by observation. Jiwa yang datang kepada makna-makna tertentu (al-ilm al-huduri). Kesimpulannya, al-ilm (knowledge) menjadi integral dalam perspektif islam, memadukan rasionalitas (pikiran) dan intuisi (hati).


Dalam perspektif Islam, seluruh pengetahuan adalah proses untuk sampai pada pengenalan diri (self, nafs, soul) melalui pengembangan dan penghalusan kekuatan inner-nya (intelect, qalb). Aksioma lama “Know  thyself” dirumuskan dalam sebuah pernyataan Ali bin Abi Thalib, “man ‘arafa nafsahu fa qad ‘arafa Rabbahu”, Dia yang mengenal dirinya (self), mengenal Tuhannya. Ini dicapai manakala, jiwa atau lebih tepatnya intelek aktual (aql bi’l-fi’l) (self) telah menyempurnakan kekuatan teoritis dan praktis (theoretical and practical intelect, vision and virtue, theory and praxis).


Ada dua kemungkinan terkait dengan posisi manusia terhadap ilmu pengetahuan ini. Pertama adalah mengikuti kebenaran atau pendapat orang lain (taqlid). Kedua adalah menemukan kebenaran sendiri (tahqiq). Posisi yang pertama, karena lebih bersifat meniru atau mengikuti otoritas tertentu, menghasil jenis pengetahuan knowledge by transmission. Yang kedua, karena dilukan melalui verifikasi dan realisasi, menghasilkan apa yang disebut knowledge by intelection. Karena setiap manusia memiliki kapasitas bawaan untuk berpikir dan merefleksi tentang Tuhan dan semua ciptaan-Nya, maka dalam perspektif Islam setiap orang mesti mengembangkan knowledge by intelection. Ini terlebih lagi dalam masalah keimanan. Keimanan tidak bisa dimaknai kepercayaan (belief). Tetapi lebih tepat sebagai keyakinan (conviction). Keyakinan punya makna ketiadaan keraguan atau ketidakpastian (doubt, uncertainty). Sebaliknya, kepercayaan mengandung makna keraguan, kebenaran yang harus diterima begitu saja, tanpa perlu pembuktian dan pengujian kritis akal pikiran. Karena itu kemudian, keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa (tauhid) lebih tepat dilihat sebagai knowledge by intelection. Artinya, sudah dibuktikan dan direalisasikan oleh diri sendiri (self) hingga kemudian seseorang sampai pada tingkat pengetahuan  haqq al-yaqin. 


Dalam hubungan ini bisa dipahami, jika kemudian dalam perspektif islam tahqiq (knowledge by intelection) tidak hanya berarti memahami kebenaran, ketepatan, kepantasan sesuatu, tetapi juga merespon kepada kebenaran tersebut secara benar dengan cara menenpatkan diri (self) pada tuntutan dari kebenaran tersebut atas jiwa (soul, nafs), baik itu dalam bentuk pikiran, perasaan, sikap, ataupun perilaku. Dengan demikian terlihat bahwa dalam persktif Islam, keyakinan (al-iman), ilmu (al-ilm), perbuatan, aktivitas, atau praksis (al-aml) menjadi satu kesatuan yang utuh, integral.


Visi yang integral semacam itu terlihat pula di dalam masalah eksplorasi dan pemahaman yang dihasilkannya. Intelektualitas islami menyatukan pemahaman  atas alam semesta (phisic, natural sciences, cosmology) dengan pemahaman atas jiwa, self (spiritual psychology). Keduanya saling melengkapi dan berhubungan. Hakekat yang sebenarnya tentang jiwa manusia (self) hanya akan bisa dipahami dengan mengenali secara benar alam semesta (cosmos). Karena alam semesta adalah fenomena penampakan Nama-Nama Tuhan (teofani), persis sebagaimana manusia tercipta dengan Citra Tuhan (imago dei). Manusia dan jiwanya adalah mikro kosmos sementara alam semesta makro kosmos. Yang satu tercerminkan pada yang lain.


Pentingnya hubungan antara alam semesta (cosmos) dan jiwa (self) tampak jelas dalam ungkapan al-mabda’ wa’l-ma’ad (The Origin and The Return), yang menjadi titel buku Ibnu Sina dan Mulla Sadra. Manusia berasal dari Tuhan, dan kembali kepada Tuhan (inna lillahi wa ina ilaihi rojiun). Kembali jiwa manusia kepada Tuhan secara sukarela (ascent, mi’raj) adalah kesempurnaan yang sejati. Ini membutuhkan pemahaman dan orientasi yang benar terhadap tabiat alam semesta. Menjadi jelas di sini, studi tentang alam nyata dan pengetahuan yang dihasilkannya menyiapkan dasar bagi penyempurnaan manusia. Dan kesempurnaan hanya bisa dicapai dengan ‘kembali kepada Tuhan’, al ma’ad, membawa kembali diri (self) ke dalam harmoni dengan tabiat yang sebenarnya dari segala sesuatu (Tuhan).


Karena itulah di dalam epistemologi Islam, seluruh kegiatan berpikir harus ditata dan disusun supaya dimulai dan diakhiri dengan Realitas Tertinggi atau Terahir ini, The Supreme Reality. Setiap momen pikiran harus dipertahankan dengan kesadaran tentang Supreme Reality. Melupakannya berarti terputus dan terjatuh ke dalam illusion dan unreality. Ini berarti pemahaman ataupun pengertian sesuatu sebagaimana apa adanya hanya diperoleh ketika ada kesadaran tentang sesuatu itu dalam hubungannya dengan sang Pencipta (Allah) yang menjaga dan memeliharanya setiap saat. Dengan kata lain pikiran yang benar adalah melihat segala sesuatu dalam hubungannya dengan Tuhan.
Dengan menempatkannya dalam kerangka perspektif semacam itu, maka pembelajaran (learning) menghasilkan perubahan yang mendalam pada jiwa (self) serta transformasi spiritual yang semakin selaras (harmony), menyatu secara menyeluruh (unity, integrated-holistic) dengan segala sesuatu (Tuhan). Harmoni dan unifikasi antara mengetahui (knowledge) dan mengada (being). Pembelajaran menjadi sebuah proses pencarian hikmah (wisdom), bukan sekedar perolehan ilmu pengetahuan (science). Di mana hikmah mengimplikasikan pikiran yang benar dan tindakan atau kegiatan yang benar, mencakup penyempurnaan intelektual dan penyempurnaan moral. Dengan kata lain, semua itu menghasilkan perubahan manusia yang dalam ungkapan para filsuf islam dan sufi seperti Ibu Sina (Avecina) dan Mulla Sadra dikatakan menjadi “what is possible for human beings to become”, atau meraih status al-insan al-kamil dalam tulisan al-Farabi, manusia sempurna yang merefleksikan Sifat-Sifat Allah, al-asma al-husna (imago dei), manusia seutuhnya, manusia yang berkarakter atau berakhlak Allah (takhalluq bi akhlaq Allah).