Sunday, December 23, 2012


KETAKWAAN SEORANG PEMIMPIN SEBAGAI PENGUAT PENGALAMAN BELAJAR


Sanerya Hendrawan


Sejatinya kepemimpinan adalah upaya membangun generasi unggul. Tetapi tidak mudah menempuh jalan ini. Karena itu yang paling dibutuhkan seorang pemimpin dalam upaya ini adalah perasaan kuat, bahwa Allah menyertai pada setiap langkah, gerak, dan diam dirinya. Dan perasaan ini adalah nikmat serta karunia yang hanya diberikan kepada orang-orang beriman. “Dan sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang beriman”. Begitu pula hanya diberikan kepada orang-orang yang takwa. “Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang bertakwa”. Demikian Alquran menegaskan.

Karena itu keimanan dan ketakwaan, seperti dikatakan Syaikh Mushthafa Masyhur, salah seorang tokoh Ikhwanul Muslimin Mesir, adalah:
“Bekal ... yang dapat memancarkan sumber-sumber kebaikan dari lubuk hati,  melahirkan potensi besar, serta memupuk dan mempertajam tekad dan kemauan sehingga gerakannya menjadi gesit, tarikan-tarikan dunia melemah, dapat mengatasi berbagai rintangan dan bujukan, dan rambu-rambu jalan semakin jelas terlihat. Kejujuran, ketulusan, keikhlasan, kekuatan tekad, dan ketegaran akan menghiasi jiwa, sehingga dapat mewujudkan prestasi di jalan dakwah laksana mujizat”.

Jelas, ketakwaan jadi pintu memasuki kebersamaan dengan Allah. Dengan rasa kebersamaan ini seorang pemimpin bisa konsisten, dan jadi panutan pengikutnya. Kemudian bisa sabar dan tetap mengajak orang-orang untuk meningkatkan kualitas kehidupan material dan spiritual mereka. Lalu termotivasi kuat untuk membangun kesadaran kolektif umat (ukhuwah islamiah). Hingga akhirnya bersungguh-sungguh membangun bangsa dan umat yang kuat, yang menjadi rahmatan lil alamiin. Yakni memberi kebaikan, bukan saja bagi manusia seluruhnya, tetapi bahkan bagi semua makhluk di dalam semesta ini. Semua ini sesungguhnya adalah sikap dan perilaku pemimpin yang sangat dibutuhkan di era kita ini, dan khususnya lagi dalam proses pembelajaran yang membentuk manusia paripurna; al-insan al-kamil

Proses pembelajaran ini membutuhkan penguasaan diri (personal mastery) dari ego pribadi yang destruktif (as-syahwat). Sementara pada saat yang sama, perlunya mengembangkan ego universal (al-fitrah) yang konstruktif. Maka, menundukan ego destruktif di bawah ego universal, lalu mengembangkan ego yang kedua ini, hingga dicapai kualitas jiwa yang damai  (an-nafs al-muthmainah), tidak lain adalah substansi dari ketakwaan itu sendiri.  

Kemudian dalam pembelajaran ini dibutuhkan peran kelompok yang sangat kuat (jemaah) yang berfungsi sebagai team learning. Karena hanya dalam  jemaah (dari yang berskala kecil hingga besar), keislaman yang sejati bisa terbentuk dan terwujudkan. Dengan kata lain, kelompok menjadi tempat belajar yang sesungguhnya bagi individu dalam mengembangkan individualitas keislaman. Individualitas yang sudah melebur dalam semangat jemaah untuk ber-amar ma’ruf nahi munkar. Termasuk di sini menciptakan perbaikan sosial, membangun produktivitas, dan mencetak setiap prestasi terbaik untuk lingkungan dan masyarakatnya, hingga terbangun peradaban islami yang membawa kebaikan bagi semesta alam. 

Kemudian merapatkan barisan kelompok pembelajaran (team learning) sebagai sarana untuk mengembangkan keislaman yang sejati. Maka keduanya ini, personal mastery dan team learning, tidak memiliki makna spiritual yang benar jika tidak diarahkan pada cita-cita tertinggi keislaman. Karena itu pemimpin perlu mengkristalisasikan dan menghidupkan ideal-ideal keislaman ini dalam visi yang dihayati, dihidupi, dan dimaknai secara bersama dalam kelompok maupun masyarakat (sharing vision). Sehingga kemudian menjadi kekuatan energik yang menggerakan seluruh pembelajar dalam kelompok ini ke arah yang satu; khairo ummah. Umat terbaik, yang memimpin arah perkembangan dunia ini dengan peradaban yang tegak di atas kalimat tauhid (al-kalimatu thoyibun). Substansi karakter kepemimpinan ini adalah, mengembangkan dunia ini dengan segala kebaikan dan mencegah segala keburukan (amar ma’ruf wa nahi munkar). Substansi dan pengaruh kalimat tauhid ini pada kehidupan tergambar secara simbolis dalam Surat Ibrahim 24-25:

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat”.

Tauhid dan kalimat tauhid pada dasarnya menyatukan segala sesuatu, baik di alam nyata maupun gaib, ke dalam kesatuan  penciptaan, pengaturan, dan pengabdian (unity of creation). Yang dengan penyatuan ini maka tercipta perdamaian dengan diri sendiri (self). Damai dengan orang lain (others). Damai dengan alam (nature). Perdamaian, yang tidak lain adalah makna sejati dari Islam sendiri. Maka dari itu keislaman sebetulnya menghendaki berpikir dalam kerangka kesisteman yang bersifat Ilahiah (system thinking). Makna kalimat “laa ilaa ha illallaah” menyiratkan mutlaknya kesisteman yang harmonis antara manusia dengan dirinya, dengan manusia lain, dengan lingkungan alam, dan dengan sistem kehidupan lain yang lebih luas dan lebih tinggi. Dan sesungguhnya kesisteman yang harmonis ini tercapai hanya dan melalui penyerahan diri secara total kepada kehendak Ilahi.

Bagian dari bab "Kepemimpinan Untuk Pengembangan SDM" dalam, Sanerya Hendrawan,  "Pengembangan Sumberdaya Insani: Perspektif Islam ..."

No comments:

Post a Comment