Monday, December 31, 2012

KARAKTER PEMIMPIN MENDUKUNG KEBERHASILAN PROSES PEMBELAJARAN

Sanerya Hendrawan

Menciptakan proses pembelajaran yang mengarah pada pembentukan insan kamil memerlukan karakter tertentu yang istimewa dari pemimpin. Mencakup intelektual, emosional, dan spiritual. Dalam konteks psikologi sufistik, ketiga aspek ini masuk ke dalam wilayah hati (soul, nafs). Dalam satu hadist dari Abi Abdillah An Nu’man bin Basyir ra disebutkan sabda Rasulullah Muhammad saw:

 “…Ketahuilah, bahwa dalam tubuh terdapat mudghah (segumpal daging), jika ia baik, maka baik pula seluruh tubuhnya. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati".

Maka berdasarkan hadist ini disepakati, ‘hati’ mempengaruhi kualitas aspek lahir dari manusia, seperti tindakan individual dan sosialnya. Dengan kata lain, baiknya hati jadi penentu baiknya kualitas perbuatan manusia. Sementara mind, body, and spirit adalah entitas yang terintegrasi, sebagaimana ditemukan dalam berbagai kajian mutakhir, maka kualitas perbuatan lahir ini membawa efek balik pada tubuh (body, jasad), maupun pada jiwa (soul, an-nafs). Sehingga kualitas tubuh dan jiwa pun akan berhubungan pula secara erat dengan kualitas perbuatan ini. Dengan kata lain, lewat mekanisme feedback , ada hubungan sirkuler (loop) yang saling memperkuat (reinforcing), diantara perbuatan badan (body), aktivitas pikiran (mind), dan kualitas jiwa (spirit).

Terhadap fenomena sirkuler itu, ada beberapa ayat alquran. Misalnya pada ayat berikut terlihat, keimanan yang benar melahirkan peningkatan keimanan pula: “Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. Begitu juga mengikuti petunjuk Ilahi, menyebabkan seseorang berada di atas petunjuk pula. Jadi di sini, ada dua keimanan. Keimanan pertama, dan keimanan kedua. Ada petunjuk pertama, ada petunjuk kedua. Tentu yang kedua kualitasnya lebih tinggi dari yang pertama. Dan demikianlah terus berlanjut, hingga meningkat pada keimanan dan petunjuk lebih tinggi, dengan intensitas cahaya yang semakin kuat pula dalam menerangi kehidupan manusia.

Karena itu, menjalani kehidupan spiritual sejati - yang tidak lain adalah hidup dengan mengikuti petunjuk Ilahi dan Sunah Rasul - tidak lain adalah ketekunan dan kesungguhan (jihad) untuk menggapai cahaya yang semakin kuat itu. Hingga kemudian dengan cahaya ini pula manusia naik untuk meraih cahaya lebih tinggi. Cahaya di atas cahaya. Hingga akhirnya sampai kepada Allah, sebagai Cahaya Tertinggi, Sumber dari segala cahaya. 

Demikianlah dalam Surat an-Nuur 35 disebutkan cahaya ini:

“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Maqam perjalanan seseorang mendaki puncak cahaya dari segala cahaya ini akan tercermin pada kekuatan akhlak atau karakter. Karakter adalah buah dari keyakinan (al-iman) dan penghambaan yang benar kepada Tuhan (ibadah). Semua peribadatan dalam Islam, yang sudah disebutkan di muka, adalah sarana pembelajaran menuju insan kamil, dan selalu dikaitkan dengan tujuan pembenahan dan penyempurnaan akhlak ini. Demikianlah, shalat dimaksudkan untuk mencegah perbuatan keji dan buruk. Zakat untuk mensucikan jiwa dan membersihkan hati. Puasa untuk mencegah perbuatan kotor. Bahkan diutusnya kerasulan Muhammad saw adalah justru dalam rangka penyempurnaan akhlak  ini. Inna arsalnaka rahmatan lil alamiin. Maka dengan kesempurnaan akhlak ini, seorang muslim menjadi kebaikan bagi alam semesta.

Perlu ditegaskan, semua sarana pembelajaran pada akhirnya harus bisa membentuk akhlak rahmatan lil alamin. Profil sempurna dari pencapaian akhlak rahmatan lil alamin ini sudah terkristal pada pribadi Rasulullah Muhammad saw. Dalam al-Quran ditegaskan profil ini, “wa innaka la’alaa kholqi adzhiim” (Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung). Dengan demikian, pribadi Rasulullah menjadi rujukan utama setiap upaya imitasi figur dari seorang pembelajar. Meniru pribadinya dan mengikuti perikehidupannya adalah jalan satu-satunya untuk sampai pada kesempurnaan yang sesungguhnya dari menjadi manusia (al-insan al-kamil). Karena itu bisa dipahami sebuat ayat al-Quran, “Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Cuplikan dari tulisan Sanerya Hendrawan, Kepemimpinan dalam Konteks Pembelajaran Menuju Insan Kamil.

No comments:

Post a Comment