Sunday, January 1, 2012

METODA PEMBELAJARAN: PERSPEKTIF MEMBANGUN INSAN KAMIL


Sanerya Hendrawan

Insan kamil sebagai puncak dari keperibadian islami dibentuk dengan menegakan tiga pilar utama pada individu secara simultan: ideologi, sistem nilai, atau keyakinan (aqidah, iman); praktek (ritual, akhlak dan perilaku islami); dan pensucian diri (ikhsan, spirituality). Karena itu metoda pembelajaran pun harus merupakan sebuah pendisiplinan mental, badan, dan jiwa (discipline of body, mind and soul). Di sini pembelajar mesti diekspose kepada berbagai stimulus eksternal yang membangkitkan dorongan-dorongan endogen (iradah, drive and motivation) untuk meraih berbagai pengetahuan yang benar, termasuk pengetahuan tentang hakekat segala sesuatu (ma-rifat), membentuk sikap mental yang unggul (al-akhlak al-karimah), menghaluskan jiwa (tazkiyatun nafsun), memperkuat fisik dan memperindah penampilan. Tugas guru atau intrukstur adalah menciptakan berbagai stimulus eksternal yang efektif, termasuk membangun lingkungan yang kondusif bagi proses pendisiplinan di atas.

Pada dasarnya al-Quran sudah memberikan beberapa landasan penting untuk pengembangan metoda pembelajaran yang relevan. Begitu pula praktek Rasullulah Muhammad saw dalam membentuk umat Islam generasi pertama memberikan banyak pelajaran berharga yang mesti dirujuk. Pada sisi lain, berbagai metoda pembelajaran lain yang berkembang dewasa ini, tapi tentu dikaji dengan sikap kritis, bisa digunakan pula secara selektif. Karena itu perlu ada kombinasi atau integrasi berbagai metoda pembelajaran ini, sehingga tercipta efek atau hasil yang optimal bagi pembentukan insan kamil yang menjadi tujuan akhirnya.
Dalam hubungan tersebut beberapa metoda pembelajaran relevan untuk dikedepankan. Yakni imitasi, trial and error, pengkondisian, dan refleksi. Masing-masing adalah representasi dari metoda yang tergolong ke dalam pembelajaran sosial (social learning), pembelajaran dari pengalaman hidup (experiential learning), pembelajaran berdasarkan stimulus yang dikondisikan (operant conditional learning), dan pembelajaran reflektif (reflective thinking). 


Imitasi dan Pemodelan

Meniru orang lain sangat alami dalam kehidupan manusia. Peniruan ini mencakup bukan saja cara berperilaku, tapi juga sikap, pikiran, dan keyakinan. Secara psikologis, peniruan sosial adalah fungsi dari kekuatan dan integritas  peniru (self-eficacy) dan  kekuatan pesona dari yang ditiru sendiri. Karena itu, pada usia dini, di mana self-eficacy, relatif rendah, intensitas meniru orang lain relatif tinggi. Intensitas peniruan ini menurun sejalan dengan pertambahan usia. Berdasarkan kecenderungan ini, maka penanaman akhlak atau adab islami melalui contoh dan keteladanan orang lain sangat penting dilakukan di usia dini. Pada usia lanjut perubahan bukan tidak mungkin. Karena misalnya, para sahabat di generasi pertama umat muslim, mereka mampu meninggalkan adab-adab kegelapan (jahiliyah) seperti minum alkohol, penyembahan berhala, dan berbagai kebiasaan buruk lain, hanya setelah mengenal kebenaran Islam. Jadi, faktor yang jadi penentu perubahan itu adalah pengetahuan tentang kebenaran yang mereka dapatkan dari al-Quran serta peri kehidupan pemimpin mereka sendiri, Rasulullah Muhammad saw, dan pengaruh yang kuat dari lingkungan komunitas muslim yang dibangun secara berjamaah dengan konsisten, selain tentu saja kehendak yang kuat untuk berubah (will power) dari dalam diri para shabat sendiri. Faktor kunci ini bisa jadi pelajaran penting untuk membangun ruang pembelajaran yang efektif.

Fakta bahwa belajar dilakukan dengan cara meniru orang lain memberi arti penting pada peran  figur, tokoh, pemimpin, atau rujukan lain. Mereka ini mesti memiliki kekuatan karakter, akhlak, atau perilaku yang bisa menjadi suri teladan orang lain. Tanpa ini semua, mereka tidak layak menjadi pendidik (murabbi) dalam arti yang sesungguhnya. Karakter, akhlak, perilaku terpuji adalah stimulus pembelajaran yang paling mudah dilihat, dimengerti, dan diingat oleh pembelajar. Kesan-kesannya yang tertanam dalam jiwa juga sangat kuat. Karena hidupnya secara nyata ideal-ideal kehidupan yang hendak ditanamkan. Rasulullah sendiri berhasil membangun generasi pertama kaum Muslimin yang kuat berkat ideal-ideal al-Quran yang berhasil dihidupkan di dalam akhlaknya. 
Kekuatan karakter seorang pendidik sangat penting dalam mempengaruhi perubahan aspek afektif dan perilaku. Dalam pandangan Islam karakter (akhlaq) adalah perhiasan, yang membangun pesona menarik seperti magnet, sehingga timbul kesukaan dan kecintaan serta identifikasi yang kuat dari seseorang, dan proses-proses lain yang emosional sifatnya, yang mendorong peniruan secara natural. Menyatu atau menjadi serupa dengan yang dicintai atau yang disukai adalah akibat terpenting dari pesona ini. Karena itu, pendidikan yang berorientasi membangun watak dan karakter, seperti dalam perspektif Islam, mutlak mensyaratkan pendidik dengan karakter yang luhur.

(bagian dari tulisan: Sanerya Hendrawan,  "Pembelajaran dalam Perspektif Membangun Kepribadian Islami...)

No comments:

Post a Comment