Sanerya Hendrawan
Dalam perspektif Islam keperibadian manusia terbentuk jauh sebelum terlahir ke dunia ini. Pertama ada satu fase ketika manusia masih berbentuk ruh di alam primordial. Di mana diri noumenal (Self) mengakui keberadaan Tuhan (teistik). Ateis karena itu tidak dikenal di dalam perspektif Islam. Karena jelas-jelas menyangkal inti diri sendiri. Manusia yang menganggap dirinya ateis sesungguhnya telah membuat dirinya teralienasi, terasing dari dirinya sendiri (Self). Sehingga tidak akan mampu mengembangkan keperibadiannya secara benar dan sehat.
Dalam perspektif Islam dikenal pernyataan “siapa yang mengenal dirinya, mengenal Tuhannya”. Maka dapat dikatakan pula, “siapa yang tidak kenal (menolak keberadaan) Tuhannya, maka dia juga terasing dari dirinya (alienasi)”. Ini berarti ada korelasi antara inti keperibadian manusia (Self) dengan Tuhan. Menolak yang satu berarti menolak yang lain. Atau yang satu menjadi dasar untuk memahami yang lain.
Diri pada fase tersebut bisa disebut diri fitrah atau primordial (primordial self). Karena unsur materi (badan jasmani) belum ada, maka diri primordial tabiatnya adalah teistik, lurus dan cenderung pada kebaikan (hanif), serta pada posisi berserah diri (Islam). Karena itu Islam disebut pula agama primordial (ad-diin al-fitrah). Keyakinan (aqidah) dan seluruh aturannya (syariat), kalau dipegang teguh dan dipraktekan dengan benar akan mengembalikan kepada keadaan asal atau primordial ini.
Selanjutnya masuk pada fase kedua, ketika embrio terbentuk di dalam rahim dan ruh ini ditiupkan langsung oleh Tuhan kedalam embrio tubuh manusia tersebut yang telah berumur 40 hari. Drama peniupan ruh ini dinyatakan oleh kalimat al-Quran sendiri dengan “... wa nafakhtu fihi min ruhi...” (... dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)-Ku;...). Maka pada momen ini Cahaya Ketuhanan masuk kedalam tubuh materi. Eksistensi manusia menjadi sesuatu yang lain sama sekali. Kini, manusia memiliki berbagai kapasitas yang termasuk ke dalam realitas transendental, yang menjadi sumber kesadaran (consciousness), pikiran (cognition), pengetahuan (knowledge), intuisi (suara hati), maupun kekuatan berpikir dan rasionalitas. Pada fase ini sel-sel pembangun embrio dan tubuh bayi manusia sempurna membawa kode-kode genetika (DNA) yang dituliskan Tuhan berbeda untuk setiap individu. Nanti, khususnya setelah terlahirkan dari rahim ibu, bersama-sama faktor lain (lingkungan), kode-kode ini akan membentuk proses individuasi yang khas untuk setiap orang.
Fase ketiga adalah manusia yang terlahir ke dunia dengan membawa kecenderungan fitrah dan berbagai potensialitas yang harus diaktualisasikan dalam kehidupan lewat interaksinya dengan faktor-faktor lingkungan. Di sini faktor tabiat (nature) berinteraksi dengan pengasuhan lingkungan (nurture). Kombinasi dari pengaruh akal, hati, dan bimbingan petunjuk serta hukum-hukum agama (syariat) di satu pihak; dan pengaruh lingkungan di lain pihak (lewat proses sosialisasi dan akulturasi) sangat menentukan perkembangan kualitas keperibadian pada fase ini.
Pada fase ini manusia harus meraih kualitas keperibadian sempurna (al insan al-kamil). Yang gambaran nyatanya ada pada diri Rasulullah Muhammad saw. Semua kualitas luhur dari keperibadian manusia yang bisa diraih dalam batas-batas kemanusiaan manusia terkumpul secara kompak dan harmonis dalam pribadi Muhammad saw. Insan kamil tidak lain adalah gambaran manusia homo dei. Yakni manusia yang mampu mengembangkan kehidupan dunia sesuai dengan tujuan penciptaannya. Yaitu pemimpin, pengganti, atau wakil Tuhan di muka bumi (khalifatul ard).
Fase keempat adalah keperibadian yang sudah tercetak oleh kehidupan dunia (jiwa atau soul) yang kembali ke asalnya (Tuhan). Lewat kematian yang memisahkan jiwa dari badan materi dan masuk ke dalam penantian di alam barzah hingga hari kiamat. Lalu jiwa ini dibangkitkan kembali lengkap dengan badan jasmani serta mendapatkan tempat dan bentuk nyatanya di sana yang sesuai dengan kualitas keperibadian yang berhasil dikembangkannya dalam kehidupan dunia.
No comments:
Post a Comment